Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Keterbatasan Infrastruktur Jadi Tantangan, Antusias Belajar Perlu Dijaga

9 September 2024   18:05 Diperbarui: 11 September 2024   10:16 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang diceritakan Kompasianer Halimah, turut dialami Kompasianer Yulius Roma Patendena. Kompasianer Yulius yang juga berprofesi sebagai guru berbagi pengalamannya di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Pendidikan di Tana Toraja, menurutnya, sudah lebih baik dalam beberapa tahun terakhir.. Namun tidak pada daerah-daerah sekitarnya.

Di Simbuang, misalnya, sebagaimana diceritakan Kompasianer Yulius, jadi salah satu daerah yang cukup tertinggal dari segi pendidikan. Daerah ini terbilang jauh dari kota dan akses jalan yang cukup sulit turut menambah persoalan.

Suatu ketika Yulius pernah bertugas menjadi pengajar praktik pendidikan guru penggerak di sana. Dia harus menempuh perjalanan lima hingga enam jam. Itu pun dengan catatan, cuaca sedang cerah. Jika hujan, perjalanan bisa mencapai 12 jam.

"Saya jalan jam 3 sore, baru sampai jam 9 malam. Saya harus bertanya 12 kali baru ketemu tempat yang saya tuju. Tidak semua orang tahu daerah sana, dan saya pun baru pertama kali ke sana ketika itu," katanya. (Perjalanan menuju Simbuang pernah dituliskan Kompasianer Yulius di sini dan di sini)

Di daerah ini pun tidak banyak guru yang mengajar, hanya ada satu kepala sekolah dan satu guru. Bahkan dia pernah mendapati sekolah yang tidak didatangi oleh kepala sekolahnya selama 9 bulan lamanya.

Menurut Kompasianer Yulius, hal itu bukan disebabkan kekurangan guru, melainkan tidak meratanya guru yang mengajar. Mereka lebih memilih mengajar di kota. Keterbatasan akses dan infrastruktur serta perbedaan tradisi dan budaya di Simbuang menjadi penyebabnya.

Persoalan ekonomi juga turut jadi hambatan anak-anak dalam mengenyam pendidikan. Di sana, mayoritas anak muda lebih memilih menjadi "pengasuh" kerbau petarung. Mereka mendapatkan imbalan yang cukup lumayan untuk seusia remaja.

Kerbau adalah hewan yang tak bisa dipisahkan dari kegiatan budaya di Toraja, khususnya pada acara Rambu Solo' (kedukaan). Memiliki kerbau dapat pula diartikan sebagai simbol kesejahteraan.

Hobi anak muda Toraja memelihara dan merawat kerbau petarung bukan tanpa alasan. Selain karena penghasilan yang diterima terbilang lumayan bagi mereka yang masih belia, adu kerbau menjadi salah satu tontonan hiburan warga Toraja yang hampir tiap bulan ada pelaksanaannya di seantero Tana Toraja dan Toraja Utara melalui kegiatan ma'pasilaga tedong (adu kerbau). Adu kerbau diadakan secara resmi karena adanya kegiatan Rambu Solo'.

Para anak muda Toraja memegang peran penting akan keberadaan kerbau-kerbau petarung ini. Merekalah yang berjibaku merawat kerbau. Satu ekor kerbau petarung biasanya dirawat oleh satu kelompok anak muda. (Perihal kerbau petarung dan anak muda bisa baca di sini)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun