Keadaan demikian tidak saja berdampak pada murid, tetapi kepada tenaga pengajar. Keinginan mereka untuk meningkatkan kompetensi pun menjadi terhambat.
Kompasianer Halimah menceritakan contoh kasus yang pernah ditemui. Seorang tenaga ajar terpaksa gagal lulus uji kompetensi lantaran sulitnya internet. Peserta uji kompetensi tersebut terpaksa harus menjalani ujian via online di pinggir laut.
"Jadi karena ujiannya di bibir pantai, kan, suara angin sama ombaknya kencang banget. Jadi suaranya gak kedengeran. Materi presentasinya jadi nggak jelas juga, kan," katanya.
Di sisi lain, yang juga perlu mendapat perhatian di sana adalah faktor ekonomi. Anak-anak di sana kerap kali terpaksa berhenti bersekolah ketiga musim panen tiba, lantaran ketika musim itu tiba, para orangtua meminta mereka untuk membantu memetik hasil panen.
Dilematis sebenarnya. Sebab hasil panen tersebut digunakan untuk membiayai pendidikan mereka. Biaya hidup di pedalaman yang lebih mahal dibandingkan kota membuat situasi ini semakin sulit.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, sebagaimana diceritakan Halimah, antusiasme masyarakat terhadap pendidikan sangat tinggi. Orangtua sangat bekerja keras demi memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka.
Di sana, orangtua rela untuk tidak membeli beras hingga menemani anak-anak mereka menyeberang ke kota untuk bersekolah. Hasilnya, tidak sedikit masyarakat yang berhasil menyekolahkan anak-anak mereka hingga sarjana.
Baca Juga: Dayu Rifanto, Jendela Buku bagi Anak-anak
Dukungan masyarakat adat terhadap pendidikan pun sangat tinggi. Beberapa tokoh adat kerap menggelar doa bersama demi kelancaran anak-anak dalam mengenyam pendidikan. Ini menunjukkan bahwa meskipun menghadapi banyak tantangan, semangat dan dukungan untuk pendidikan di daerah terpencil tetap tinggi.
"Kalau di sini, gurunya tidak masuk mengajar atau datang terlambat, mereka kerap dicari oleh murid-muridnya. 'Miss, ke mana, kenapa belum datang', dan sebagainya. Itu artinya apa? Artinya mereka, anak-anak, sangat antusias untuk belajar," kata Kompasianer Halimah.
Serupa tapi tak sama di Simbuang