Taman baca masyarakat dapat menjadi ruang belajar dan persentuhan anak-anak pada buku bacaan. Di Sorong, anak-anak ramai datang ke taman baca. Pendidikan nonformal atau pendidikan masyarakat menjadi penting dan perlu diperkuat agar semakin banyak anak-anak mendapatkan ruang belajar yang fleksibel dan akses bacaan yang dapat mendukung pendidikannya.
Di Sorong, Papua Barat Daya, masih menghadapi berbagai tantangan dalam sektor pendidikan. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya, kondisi pendidikan di wilayah ini tetap memiliki problem tersendiri.
Jika melihat secara lebih luas, menurut statistik anak putus sekolah di empat provinsi baru di wilayah Papua mencapai 314.606 jiwa. Data ini berdasarkan kajian oleh peneliti dari Universitas Papua, sebagaimana dikutip dari KOMPAS.id.
Dukung Kompasianer Dayu Rifanto mengumpulkan buku bacaan anak-anak di Sorong, Papua Barat Daya di sini.
Misalnya, Papua Tengah menjadi daerah otonom baru dengan jumlah anak yang tidak sekolah tertinggi apabila dibandingkan dengan tiga provinsi baru lainnya, yakni 95.380 orang.
Adapun jumlah anak tidak sekolah di Papua Pegunungan mencapai 95.022 orang dan Papua Selatan 92.988. Sementara jumlah anak yang tidak bersekolah di Papua Barat Daya sebanyak 31.216 orang.
Selain persoalan akses pendidikan, keterbatasan ekonomi menyebabkan masyarakat kesulitan untuk menyekolahkan anak mereka.Â
Itu sebabnya bagi masyarakat golongan menengah ke bawah pendidikan menjadi hal musykil diraih bagi mereka. Mengacu ke data dari peneliti Universitas Papua, tak sedikit anak-anak (Papua) putus sekolah atau setidaknya tidak bersekolah.
Lain lagi dengan kualitas pendidikan yang perlu menjadi perhatian. Persoalan guru berkualitas dan kesejahteraannya, kualitas sekolah yang tidak merata menjadi tantangan tersendiri.
"Di pertengahan tahun lalu misalnya, ada persoalan 5 bulan gaji guru PPPK yang belum dibayarkan. Juga persoalan guru yang tidak menunaikan tugasnya," kata Dayu.
Masalah literasi juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi Papua. Misalnya menggunakan indeks aktivitas literasi membaca pada tahun 2019 (Indeks Alibaca), yang menyatakan bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat berada pada urutan terbawah dari survei tersebut, yang mengukur aktivitas literasi membaca di masyarakat dari 34 provinsi di Indonesia.
Namun, di tengah berbagai tantangan ini, ada harapan dan upaya dari masyarakat untuk ikut berkontribusi pada pendidikan di Tanah Papua, terutama pada isu literasi. Salah satunya adalah "Bukuntukpapua," yang diinisiasi oleh Kompasianer Dayu Rifanto.
Keterlibatan Masyarakat dan Awal Mula "Bukuntukpapua"
Kompasianer Dayu Rifanto adalah inisiator gerakan Bukuntukpapua sebuah inisiatif sosial yang dibangun pada 2012 dengan menggalang donasi dan mendistribusikan buku-buku bacaan anak di berbagai taman baca, perpustakaan komunitas dan perpustakaan sekolah di Papua, terutama di Sorong, Papua Barat Daya. Inisiatif ini bertujuan meningkatkan akses pendidikan dan literasi di Papua.
Bukuntukpapua tak sengaja lahir dari tangan Kompasianer Dayu. Berawal dari hanya bantu-bantu temannya yang kesulitan mendirikan rumah baca di Nabire, Papua Tengah lantaran minimnya buku di sana.
Kompasianer Dayu pun membantu temannya tersebut untuk menggalang donasi buku melalui media sosial. Kendati demikian ide membantu mengumpulkan buku melalui donasi melalui media sosial tersebut tak berbuah manis. Selama dua hingga tiga bulan membuka donasi tidak ada yang memberikan.
"Waktu itu zamannya Twitter (sekarang X). Saya kira di media sosial semuanya mudah. Mau ini langsung dapat, mau itu langsung bisa," kata pria kelahiran Nabire, Papua, itu.
Kendati begitu Dayu tak patah arang. Ia terus berupaya berbagai cara untuk mewujudkan cita-citanya ini. Terlebih, teman-temannya sudah menunggu buku-buku tersebut di Nabire, agar nantinya mereka mempunyai semacam perpustakaan komunitas.
Kini, berjalan lebih dari 12 tahun, Bukuntukpapua sudah ikut berkontribusi bagi kehadiran rumah baca, taman baca, maupun perpustakaan komunitas di Papua.Â
Di Sorong, Dayu dan istrinya, Herlina Yulidia mendirikan Taman Baca Pinjam Pustaka, pada tahun 2021 lalu. Selain Pinjam Pustaka, ada taman baca, rumah baca, kelompok belajar, juga perpustakaan komunitas serta komunitas inisiatif literasi lainnya yang tergabung dalam Forum Literasi Sorong Raya, juga Forum TBM Sorong. Kehadiran beragam inisiatif ini ikut mendorong minat masyarakat ke taman baca.Â
Sebagai contoh di Pinjam Pustaka, yang dikelolanya bersama Grace J. Burdam, Gres Titiahy, Karlina Kamaruddin dan Novita Rianghepat, pada 2023 lalu, jumlah kunjungannya mencapai kurang lebih 800 kunjungan.
Berbagai aktivitas dengan beragam program juga turut diselenggarakan. Yang mana tujuannya tak lain dan tak bukan untuk menyediakan ruang belajar bagi masyarakat, khususnya anak-anak dan pemuda.
Dayu mengatakan, di lingkungan sekitar Pinjam Pustaka, masyarakat, terutama anak-anak, sangat gemar datang ke rumah baca. Tak jarang, para orangtua ikut serta ke taman baca. Bahkan orangtua di sekitar taman baca sudah mengetahui jika siang hari, anak-anak tidak di rumah, tandanya sedang di taman baca Pinjam Pustaka. Rasa penasaran dan keingintahuan anak-anak terkait taman baca, buku dan pendidikan cukup besar.
Meski begitu, saat ini rumah baca, taman baca, perpustakaan komunitas di Papua terus membutuhkan buku-buku bacaan anak, termasuk ragam bacaan anak kontekstual Papua, mulai dari keindahan alam hingga kekayaan budaya.
Tingginya minat anak-anak mengunjungi rumah baca, taman baca perlu kita dukung dengan membantu rumah baca, taman baca melengkapi koleksi buku bacaan anak-anaknya, sehingga kebutuhan beragam bacaan anak-anak terpenuhi.
Kamu ingin turut berpartisipasi membantu Kompasianer Dayu Rifanto untuk berbagi buku untuk anak-anak di Papua? Klik link berikut ini untuk berkontribusi.
Kini, yang menjadi pertanyaan, perlukah pendidikan nonformal atau pendidikan masyarakat, salah satunya seperti taman baca yang digagas oleh Kompasianer Dayu, semakin diperkuat dan dikedepankan? Sejauh mana pendidikan nonformal dapat melengkapi demi memberikan pendidikan yang utuh bagi anak-anak? Lalu bagaimana sekiranya pendidikan formal perlu berbenah?
Nah, Kompasianer Dayu Rifanto menantang sekaligus mengajak para Kompasianer untuk berbagi opini hingga pengalaman terkait hal ini dalam program Topik Pilihan Kolaborasi Kompasiana.
Karena itu, yuk ikutan tantangan dan ajakan dari Kompasianer Dayu Rifanto ini. Sembari kamu menyiapkan ide tulisanmu, pantau terus ya pengumuman program ini. Hanya di Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H