Sebenarnya isu menganai International Standard Book Number (ISBN) mengemuka sejak Indonesia mendapatkan kehormatan menjadi "guest of honor" pada Frankfurt Book Fair 2015.
Itu kemudian jadi perhatian, paling tidak, oleh penulis dan penerbit buku perihal membatasi pengajuan ISBN.
Pada akhirnya jika kita melihat dari sudut pandang umum, ini jadi sebuah paradoks: ketika kita sadari bahwa hubungan dengan buku itu minim, tetapi mengapa pengajuan untuk buku dengan ISBN mesti dibatasi?
Kami coba rangkum bagaimana Kompasianer melihat perihal pengajuan ISBN dan hal-hal lain terkait penerbitan buku.
1. Menjernihkan Makna ISBN
Awalnya, International ISBN Agency yang berpusat di London memberi peringatan karena adanya ketidakwajaran pengajuan ISBN di Indonesia.
Masalahnya, tulis Kompasianer Bambang Trim, terlalu banyak publikasi yang disebut buku sebenarnya bukan termasuk buku. Kedua, banyak publikasi berupa buku yang sebenarnya tidak relevan diberi ISBN.
"Namun, ISBN tidak ada hubungannya dengan mutu, prestise, dan pengakuan internasional," lanjutnya.
Pada akhirnya, memperketat syarat pengajuan ISBN dan kriteria buku ber-ISBN dengan mempertimbangkan profesionalitas penerbit dan pelaku perbukuan. (Baca selengkapnya)
2. QRCBN, Solusi Inovatif dan Alternatif Krisis ISBN di Indonesia
Kompasianer Merza Gamal melihat ketika Indonesia tengah mengembangkan dunia literasinya soal krisis ISBN justru karena produksi buku yang tidak sejalan dengan tingkat literasi masyarakat.
Namun tidak hanya itu, terlebih karena  praktik penerbitan buku yang tidak selalu berkualitas.
Melihat permasalahan tersebut, Kompasianer Merza Gamal menjelaskan hal lain yang ditawarkan soal penerbitan buku: bukan hanya ISBN, tetapi ada juga yang namanya QRCBN.
QRCBN adalah aplikasi pengidentifikasi buku yang menggunakan teknologi QR Code.
"QRCBN menawarkan solusi yang tidak hanya mengatasi keterbatasan ISBN tetapi juga membuka pintu untuk transformasi positif dalam dunia penerbitan," tulis Kompasianer Merza Gamal. (Baca selengkapnya)
3. Vanity Publisher di Balik Banyaknya Buku Ber-ISBN Tapi Produksinya Minim?
Kompasianer Rini Wulandari merasa aneh karena enam ratusan ribu ISBN yang keluar dari Purpesnas, tapi tidak berbanding lurus dengan banyaknya produk buku.
Bisa jadi, lanjutnya, problemnya adalah banyak buku yang telah ber-ISBN tapi tak jadi terbit atau hanya dicetak terbatas.
Akan tetapi, tidak ada yang keliru juga jika ada orang yang ingin menerbitkan bukunya sendiri karena untuk menambahkan motivasi orang untuk menulis.
"Akan menjadi dilematis justru ketika ada pembatasan terhadap penerbitan buku mandiri, termasuk jika ada pembatasan jumlah eksemplarnya," tulis Kompasianer Rini Wulandari. (Baca selengkapnya)
4. Mengatasi Krisis ISBN dengan Langkah-Langkah Unggul
Menerbitkan buku, bagi Kompasianer Demianus Nahaklay, merupakan cara kita memberi sumbangsih bagi kemajuan Indonesia.
Namun, seberpengalamannya, ternyata menulis buku itu sesuatu hal mudah ternyata banyak hal yang harus dipenuhi penulis.
Ada banyak tahapan sebelum bisa menulis: mengembangkan ide-ide, dirampung dan diedit berulang-ulang.
Jadi ketika Kompasianer Demianus Nahaklay tahu bahwa ISBN itu "dijatah", maka pemberian ISBN mesti diperketat.
"Prosedur pemberian ISBN seharusnya melibatkan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan," tulisnya. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H