Kompasianer, apakah kamu termasuk yang memanfaatkan pekarangan rumah untuk bercocok tanam tanaman pangan? Tanaman apa yang biasanya kamu tanam? Selain itu, apakah di sekitarmu ada semacam kebun bersama atau kebun komunitas?
Seperti kita tahu, Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk pangannya.
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan. Indonesia memiliki potensi besar untuk menghasilkan pangan yang beragam, baik dari sektor pertanian, perikanan, peternakan, maupun kehutanan.
Namun, kekayaan pangan kita saat ini tidak berarti tanpa tantangan. Selain persoalan ketergantungan impor, kemandirian pangan oleh kita sendiri rasanya perlu dibenahi.
Baru-baru ini Kompasiana berbincang dengan Kompasianer Repa Kustipia, yang juga seorang peneliti antropologi pangan. Kami berbincang panjang lebar soal gastronomi dan pangan lokal Indonesia.
Repa merupakan peneliti independen antropologi pangan di Center for Study Indonesian Food Anthropology (CS-IFA). Sejak 2011 dirinya sudah tertarik dengan dunia gastronomi. Namun siapa sangka dirinya dulu adalah seorang ahli gizi. Dia mengaku ini merupakan transformasi dari pilihan hidupnya.
"Awal ketertarikannya dulu kuliah ahli gizi ada mata kuliahnya antropologi gizi dan pangan, lebih tetarik ke situ. Kalau misalkan ngurusin kuliner atau budaya atau regulasi itu kayanya saya bisa lebih jauh tersenyum walaupun kalau dibanding-bandingkan itu lebih enak sebagai ahli gizi," katanya.
Ketertarikan wanita asal Tasikmalaya, Jawa Barat, ini tak lepas dari hobinya kulineran. Dan berkat Gong Fu Cha lah dia terjun lebih jauh dalam dunia Gastronomi dan menjadi peneliti independen.
"Saya waktu itu kan di Jakarta ikutan upacara teh Cina, namanya Gong Fu Cha. Ini apa nih artinya, kan ngga mungkin kalau Gong Fu Cha doang, harus ada artinya, ada filosofinya. Saya kurang mendapatkan kepuasan dari situ. Saya akhirnya ikutan program dari upacara teh itu. Di situ ternyata ada yang diajarin sama tea master. Nah dari situ saya jadi suka ke budaya. Ternyata dari makanan itu ada artinya, ada hal-hal lain yang bisa diungkapkan," bebernya.
Keseharian Repa tak lepas dari penelitian. Setiap bulannya memiliki tema tersendiri, yang terikat oleh roadmap selama satu tahun. Untuk tahun ini, diungkapkannya, adalah mengenai multispesies etnografi gastronomi.
"Hasil risetnya itu bisa ikutan co-paper, nulis jurnal artikel ilmiah, termasuk nulis di Kompasiana itu sebetulnya mini series dari hasil penelitian dengan gaya bahasa populer. Karena terlalu sulit kalau pakai bahasa yang ilmiah, jadi saya coba sederhanakan. Kaya misalkan tulisan saya yang disederhanakan 'Fermentasi Bir Pletok'," ucapnya.
Lebih jauh, dia menggambarkan, meski kaya akan pangan gastronomi, Indonesia masih tertinggal jauh ketimbang negara-negara lain, bahkan di ASEAN. Sebab, makanan Indonesia tak satupun ada yang unggul.
Hal tersebut dia sampaikan setelah dalam beberapa kesempatan mengikuti forum-forum organisasi pariwisata dunia atau UNWTOm yang mana menurut mereka Indonesia masih kalah dari beberapa negara di ASEAN, seperti Malaysia, Filipina atau Thailand.
Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama adalah makanannya itu sendiri, kemudian soal kualitas, dan terakhir food safety.
"Coba saja pusat jajanan. Apakah di sana sudah ada logo-logo yang menandakan bahwa makanan tersebut mengandung free gluten, misalnya. Belum ada kan, di kita belum seserius itu. Tapi ketika kita ke Filipina atau Malaysia ataupun ke Singapura mereka itu para penjualnya, walaupun kaki lima, tahu makanan yang dijualnya mengandung gula yang rendah, misalnya, atau lactose intolerance. Jadi ada informasi-informasi seperti itu yang diberikan oleh penjual kepada pembeli. Kalau kita kan beli ya beli aja. Beli kopi ada yang sering request kan, saya susunya harus oat, saya susunya harus almond. Nah itu kan ada gangguan sendiri nantinya di pencernaan. Nah yang kaya gitu-gitu yang kita masih kurang," paparnya.
Di sisi lain, sebagaimana kita ketahui, kekayaan pangan Indonesia adalah salah satu aset terbesar yang dimiliki. Menurut Repa pangan lokal Indonesia itu sangat kaya, baik dilihat dari sejarah maupun komposisi pangan.
Dari sejarah misalnya, kita bisa ambil contoh dari pecel. Pecel adalah salah satu makanan khas Indonesia yang pada umumnya terdiri dari ragam sayuran rebus dengan bumbu kacang.
Pecel cukup digemari oleh sebagian dari kita, selain karena murah dan enak, proses membuatnya pun tidak terlalu sulit. Pecel biasanya dimakan dengan nasi atau lontong, serta lauk-pauk seperti tahu, tempe, atau ayam goreng. Pecel bisa juga disajikan dengan berbagai macam makanan pelengkap, seperti peyek kacang, kerupuk, rempeyek, atau krupuk kulit.
Menariknya pecel adalah salah satu makanan yang sudah ada sejak abad ke-9 era Kerajaan Mataram Kuno, dan masih eksis hingga kini. Secara histori pecel juga hampir bersamaan dengan jamu.
Sejarah Mataram Kuno sendiri memiliki banyak meninggalkan sejarah-sejarah yang dapat menjelaskan keberadaan-keberadaan komoditas dan masakannya. Sebab, mereka banyak menuliskan resep-resep makanan pada media batu atau daun-daun lontar.
Kendati demikian, tidak semua tulisan-tulisan itu dapat kita baca hari ini, lantaran ditulis dengan menggunakan aksara Jawa Kuna. Perlu para pakar untuk bisa menerjemahkannya, dalam hal ini arekolog ataupun filolog.
"Kalau kita baca Serat Centini dalam sebuah bab yang menyangkut komoditas pangan atau masakan itu, misalkan jamu atau pecel, ternyata saling bersinggungan dan berhubungan," ungkapnya.
Adapun pecel, sebagaimana yang kita kenal seperti sekarang ini, tak lepas dari migrasi masyarakat zaman Mataram Kuno ke berbagai daerah.
Menurut Repa, dari literatur yang dibacanya, migrasi masyarakat pada waktu bukan saja manusianya, melainkan benih-benih sayur turut dibawanya yang kemudian ditanam di tempat di mana mereka berimigrasi. Karenanya, tak heran apabila pecel di setiap daerah memiliki coraknya tersendiri.
Repa mencontohkan pecel khas Surabaya, semanggi suroboyo. Seperti namanya, pecel tersebut memiliki daun semanggi sebagai ciri khasnya. Selain semanggi, penjualnya pun memiliki ciri khas tertentu. Biasanya penjual semanggi suroboyo ini menggunakan kain jarik.
"Jadi kalau nemuin mbok-mbok yang pakai kain jarik terus jualan pecel, itu bisa dipastikan dia jualan pecel semanggi suroboyo. Nah, mengapa harus kain jarik? Karena menurut mereka kain jarik masih memiliki filosofi-filosofi dari pewayangan," ujarnya.
Lain di pecel lain pula lotek. Dikatakan Repa, masyarakat Sunda cenderung memilih sayuran atau buah-buahan yang dingin. Sebab, preferensi mereka terhadap daya kecap membutuhkan cita rasa dari komoditas-komoditas itu. Tak heran kalau masyarakat Sunda sangat suka sekali dengan rujak.
"Adanya pecel yang berbeda-beda juga bisa dilihat faktor-faktor ekologis dan budaya, atau antropologi biasa menyebutnya cultural ecologist" jelasnya.
Sementara bila dilihat dari komposisi pangan, jumlahnya mencapai ratusan yang dibagi ke dalam beberapa komoditas. Kemudian dari dari komoditas itu dikelompokan kembali ke dalam nilai gizi.
Misalnya, ada kelompok karbohidrat, kemudian protein nabati, protein hewani, ada juga golongan buah-buahan, baik yang berbiji maupun tidak berbiji. Lalu ada juga sayuran hijau dan sayuran merah, yang mana keduanya ada kelompok-kelompok tersendiri. Pun termasuk ikan, yang masuk ke dalam kelompok baru yang disebut dengan pangan air atau blue food.
"Juga soal bumbu yang sekarang ngga cuma rempah-rempah, tapi lebih kepada rasa. Ada rasa-rasa baru dari bumbu campuran. Misalnya, kalau dulu kita sebut bumbu tuh ada banyak jenisnya, ada bawang merah bawang putih. Kalau sekarang bawang merah dan bawang putih ada yang dicampur, atau flavour bawang," paparnya.
"Ada juga flavour bawang dicampur oregano dan seledri, itu sudah mix and mix, jadi ngga tahu tuh namanya gimana. Biasanya yang disebut nama merknya. Begitu cara konsumen sekarang menyebut 'bumbu'. Kecuali yang tradisional," imbuhnya.
Dari banyaknya klasifikasi dan komoditas yang bisa jadi penanda bahwa begitu kaya pangan lokal kita. Dari situ setidaknya bisa untuk kita maksimalkan dalam meningkatkan ketahanan pangan.
Ketahanan pangan tak ubahnya kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Untuk mencapai ketahanan pangan, diperlukan berbagai strategi yang terintegrasi dan berkelanjutan, salah satunya adalah kemandirian pangan.
Karenanya kemandirian pangan atas partisipasi masyarakat harus mulai ditumbuhkan kembali, sebagai upaya peningkatan produksi, diversifikasi, dan ketahanan pangan.
Kemandirian pangan bisa dimulai dari rumah, atau dari lingkup masyarakat terkecil yang dikerjakan secara kolektif dan konsisten.
Bila ini dikerjakan selamat dari krisis pangan bukanlah sesuatu yang mustahil. Menurut Repa, hal ini harus mulai dinisiasikan kembali, utamanya bagi masyarakat kota.
"Jika ada kebun bersama paling tidak kita bisa mengurangi beban belanja. Daripada harus keluar Rp 100 ribu atau Rp 200 ribu untuk belanja mendingan bercocok tanam bersama di kebuh bersama itu tadi misalnya," ujarnya.
Bagaimana, apakah kamu termasuk yang sudah memulai menanam tanaman pangan dari pekarangan rumah? Dan apakah di daerah sekitar kamu ada sebuah gerakan atau komunitas bersama untuk meningkatkan ketahanan pangan yang dimulai dari rumah?
Nah, terkait hal itu, Kompasiana berkolaborasi dengan Repa Kustipia dalam Topik Pilihan Kolaborasi yang akan tayang sebentar lagi. Kamu harus banget nih ikutan sebagai bagian dari kontribusi meningkatkan partisipasi masyarakat demi mewujudkan kemandirian pangan, sekaligus meningkatkan ketahanan pangan kita yang cukup dimulai dari pekarangan rumah.
Ikutin terus infonya, ya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H