"Hasil risetnya itu bisa ikutan co-paper, nulis jurnal artikel ilmiah, termasuk nulis di Kompasiana itu sebetulnya mini series dari hasil penelitian dengan gaya bahasa populer. Karena terlalu sulit kalau pakai bahasa yang ilmiah, jadi saya coba sederhanakan. Kaya misalkan tulisan saya yang disederhanakan 'Fermentasi Bir Pletok'," ucapnya.
Lebih jauh, dia menggambarkan, meski kaya akan pangan gastronomi, Indonesia masih tertinggal jauh ketimbang negara-negara lain, bahkan di ASEAN. Sebab, makanan Indonesia tak satupun ada yang unggul.
Hal tersebut dia sampaikan setelah dalam beberapa kesempatan mengikuti forum-forum organisasi pariwisata dunia atau UNWTOm yang mana menurut mereka Indonesia masih kalah dari beberapa negara di ASEAN, seperti Malaysia, Filipina atau Thailand.
Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama adalah makanannya itu sendiri, kemudian soal kualitas, dan terakhir food safety.
"Coba saja pusat jajanan. Apakah di sana sudah ada logo-logo yang menandakan bahwa makanan tersebut mengandung free gluten, misalnya. Belum ada kan, di kita belum seserius itu. Tapi ketika kita ke Filipina atau Malaysia ataupun ke Singapura mereka itu para penjualnya, walaupun kaki lima, tahu makanan yang dijualnya mengandung gula yang rendah, misalnya, atau lactose intolerance. Jadi ada informasi-informasi seperti itu yang diberikan oleh penjual kepada pembeli. Kalau kita kan beli ya beli aja. Beli kopi ada yang sering request kan, saya susunya harus oat, saya susunya harus almond. Nah itu kan ada gangguan sendiri nantinya di pencernaan. Nah yang kaya gitu-gitu yang kita masih kurang," paparnya.
Di sisi lain, sebagaimana kita ketahui, kekayaan pangan Indonesia adalah salah satu aset terbesar yang dimiliki. Menurut Repa pangan lokal Indonesia itu sangat kaya, baik dilihat dari sejarah maupun komposisi pangan.
Dari sejarah misalnya, kita bisa ambil contoh dari pecel. Pecel adalah salah satu makanan khas Indonesia yang pada umumnya terdiri dari ragam sayuran rebus dengan bumbu kacang.
Pecel cukup digemari oleh sebagian dari kita, selain karena murah dan enak, proses membuatnya pun tidak terlalu sulit. Pecel biasanya dimakan dengan nasi atau lontong, serta lauk-pauk seperti tahu, tempe, atau ayam goreng. Pecel bisa juga disajikan dengan berbagai macam makanan pelengkap, seperti peyek kacang, kerupuk, rempeyek, atau krupuk kulit.
Menariknya pecel adalah salah satu makanan yang sudah ada sejak abad ke-9 era Kerajaan Mataram Kuno, dan masih eksis hingga kini. Secara histori pecel juga hampir bersamaan dengan jamu.
Sejarah Mataram Kuno sendiri memiliki banyak meninggalkan sejarah-sejarah yang dapat menjelaskan keberadaan-keberadaan komoditas dan masakannya. Sebab, mereka banyak menuliskan resep-resep makanan pada media batu atau daun-daun lontar.
Kendati demikian, tidak semua tulisan-tulisan itu dapat kita baca hari ini, lantaran ditulis dengan menggunakan aksara Jawa Kuna. Perlu para pakar untuk bisa menerjemahkannya, dalam hal ini arekolog ataupun filolog.