Jika tua dan muda itu sekadar angka, maka semestinya tidak ada lagi diskriminasi yang disematkan pada orang tua yang kenyang pengalaman dan anak muda tidak tahu apa-apa.
Akan tetapi itu pada akhirnya tetap terjadi: baik itu berupa streotipe maupun bentuk diskriminasi yang didasari pada usia. Ageisme, begitu istilahnya.
Hal terburuk bila itu terus terjadi dan dilakukan pembiaran hanya akan membuat batas yang besar antargenerasi untuk tetap berkarya; lebih dari itu dapat mengubah cara kita memandang diri sendiri.
Praktik ini sering terjadi di sekitar kita, nyatanya kita kerap tidak menyadarinya.
Lantas, bagaimana Kompasianer melihat fenomena ageisme ini? Berikut beberapa konten yang coba kita bahas terkait topik berikut!
1. Benarkah Gen Z adalah Generasi yang Kesepian dan Tak Memiliki Sahabat?
Kompasianer Merza Gamal coba membahas bagaimana Gen Z berteman, faktor-faktor yang memengaruhi hubungan sosial mereka, hingga langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasi kesepian.
Semisal, ini terlihat ketika Gen Z siap untuk terhubung dan mengatasi kesepian dengan menjadi sukarelawan.
"Menjadi sukarelawan untuk dapat membantu mereka merasa lebih terhubung dengan masyarakat," tulis Kompasianer Merza Gamal.
Lebih dari itu, ternyata Gen Z ini merupakan pionir dalam mengeksplorasi cara-cara baru untuk menjalin hubungan sosial yang lebih bermakna. (Baca selengkapnya)
2. Usia Bukan Sekadar Angka! Mengupas Realitas Diskriminasi di Era Bonus Demografi
Bonus demografi sebagaimana yang sering digembar-gemborkan memiliki tantangan tersendiri di Indonesia. Kompasianer Benidiktus Himang mencontohnya, misalnya, tantangan unik dalam bentuk diskriminasi usia.
Piramida penduduk Indonesia saat ini, jika merujuk data BPS, maka menunjukkan kategori ekspansif.
Ini berarti, tulis Kompasianer Benidiktus Himang, sebagian besar penduduk kita masih muda dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Sayangnya justru timbul pertanyaan mendasar: apakah mereka yang lebih tua merasa terpinggirkan di dunia kerja, sementara yang muda merasa di bawah tekanan untuk menjadi tulang punggung ekonomi? (Baca selengkapnya)
3. Ageisme, Cara Memfilter Pencari Kerja yang Merugikan
Ageisme membatasi orang untuk mengakses kesempatan yang ada. Padahal, menurut Kompasianer Gregorius Nafanu, secara fisik dan mental masih bisa bersaing dengan mereka yang berusia di bawah.
Semestinya jika setiap orang berhak untuk mendapat pekerjaan, maka dengan adanya pembatasan usia hanya akan merugikan banyak pihak.
Oleh karena itu, Kompasianer Gregorius Nafanu menyarankan untuk setiap lowongan pekerjaan (loker) tidak perlu menuliskan batasan usia dalam persyaratan.
"Lagi pula, masih banyak syarat lain yang perlu dilakukan oleh seorang pencari kerja manakala yang bersangkutan lolos secara administrasi," lanjutnya. (Baca selengkapnya)
4. Meruntuhkan Ageisme antara Old dan Young Talent di Kantor
Kompasianer Sigit Eka Pribadi menyodorkan pertanyaan menarik terkait ageisme: apakah dalam hal ini pihak manajemen kantor harus terus-terusan mempercaya para old talent?
Pasalnya hal tersebut merupakan suatu yang tidak bisa kita pungkiri dan kerap terjadi di lingkungan kerja.
Apalagi dengan adanya ungkapan bahwa setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya.
Banyak fakta bahwa akibat ageisme seperti yang Kompasianer Sigit Eka Pribadi uraikan akhirnya membuat anak muda tidak betah kerja di kantor --mungkin jadi alasan untuk cepat resign.
"Oleh karenanya, penting bagi pihak manajemen kantor untuk meruntuhkan hegemoni ageisme ini dalam rangka terus eksis dalam dunia kerja," tulis Kompasianer Sigit Eka Pribadi. (Baca selengkapnya)
***
Ada cerita apalagi tentang diskirminasi pembatasan usia yang Kompasianer tahu? Simak juga catatan menarik lainnya lewat Topik Pilihan: Agesime.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H