Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rendy Artha, Tak Pernah Kekeringan Ide untuk Menulis

8 September 2023   18:34 Diperbarui: 13 September 2023   17:38 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar hasil olahan Kompasiana (Sumber: dok. Rendy Artha, KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA)

Kompasianer, apakah kamu mulai merasakan efek dari terjadinya El Nino yang terjadi belakangan ini? Dampak seperti apa yang dirasakan?

Kompasiana baru-baru ini berbincang dengan Kompasianer Rendy Artha Luvian. Dia merupakan Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG sekaligus anggota Forum Lingkar Pena (FLP).

Di tengah kesibukannya Rendy menyempatkan waktunya untuk berbincang dengan Kompasiana. Kami membahas beragam hal, mulai dari proses kreatif dalam menulis hingga mencari tahu apa yang tengah terjadi terkait musim di Indonesia saat ini.

Bergabung sejak Februari 2023, Rendy Artha sudah menghasilkan lebih dari 200 tulisan di Kompasiana. Pembahasannya pun beragam, mulai dari perubahan iklim hingga sosial dan budaya.

Lalu, apa rahasia pria kelahiran Yogyakarta ini bisa begitu produktif dalam menulis?

Kegemarannya dalam menulis rupanya sudah ditekuni sejak remaja. Pada masa sekolah menengah pertama, misalnya, Rendy sudah aktif bergelut dengan mading sekolah.

Hal tersebut berlanjut pada jenjang sekolah menengah atas, dia turut bergabung dengan majalah sekolah dan menjadi pimpinan redaksi pada kelas 2 SMA. Dan bergabung dengan FLP pada saat kelas 3 SMA.

"Jadi pemimpin redaksi susah juga rupanya, ternyata lebih susah ngatur orang dari pada bikin tulisan," ungkapnya.

Meski begitu, yang membuat Rendy aktif dalam menulis tak lain adalah komitmen. Mengisi waktu luang di sela-sela pekerjaannya dia berkomitmen untuk setidaknya membuat satu tulisan setiap hari.

Dalam menulis, dikatakan Rendy, tidak ada yang spesial dalam urusan proses kreatif. Seperti penulis umumnya, dia hanya memikirkan tentang apa yang ingin ditulisnya hari itu.

"Saya komitmennya simpel. Hari ini hari apa, nah itu kita bahas. Saya punya penilaian hari itu hari apa, nah itu yang saya masukkan tulisan saya hari itu," katanya.

Pertemuan Rendy dengan Kompasiana sebenarnya tak lepas dari keinginannya untuk berkontribusi melalui tulisan. Sebelumnya Rendy cukup terbilang sering membuat tulisan-tulisan di beberapa media. Namun, Rendy menetapkan hatinya pada Kompasiana.

"Jadi saya ingin berkontribusi lagi karena saya itu tidak berkontribusi banyak waktu itu (di FLP). Kemudian saya kontak FLP lagi dan ternyata bisa (bergabung lagi). Kemudian cobalah menulis lagi di media-media lain. Lalu ada Kompasiana, lah kok enak ini. Ah, cobalah. Akhirnya hampir semua tulisan saya ke Kompasiana ini," ungkapnya.

Rendy bak tak pernah kekeringan ide untuk membuat tulisan. Komitmen dan keinginan berkontribusi terhadap sesuatu hal menjadi bahan bakar dalam menghasilkan karya-karya terbaiknya. Rasanya kita patut untuk menanti buah karya Rendy Artha setiap harinya.

Tak pernah kekeringan ide dalam menulis adalah satu hal yang menarik untuk dibahas lebih jauh. Namun tak kalah penting, kekeringan yang terjadi akhir-akhir ini akibat kemarau panjang juga tak boleh luput untuk kita singgung.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa Fenomena El Nino tahun ini diprediksi akan berlangsung hingga Februari 2024. Fenomena tersebut juga membuat musim kemarau tahun ini lebih kering ketimbang tiga tahun terakhir.

Terkait ini, Kompasiana berbincang lebih dalam bersama Kompasianer Rendy Artha Luvian, sekaligus Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG.

Dari data yang dipaparkan Rendy akhir-akhir ini Indonesia memang mengalami kekeringan akibat EL Nino.

"Akibat El Nino curah hujan kita di bawah rata-rata," katanya.

El Nino sendiri merupakan fenomena alam yang kerap terjadi di wilayah sekitar Samudera Pasifik. Fenomena ini terjadi ketika suhu permukaan laut di wilayah tengah dan timur Samudra Pasifik menjadi lebih hangat dari biasanya.

Selama periode El Nino, suhu permukaan laut yang lebih tinggi menghasilkan perubahan dalam aliran angin atmosfer, pola curah hujan, hingga suhu dan biasanya berlangsung selama beberapa bulan.

Ditelisik lebih jauh, El Nino memiliki memiliki efek domino. Dampak yang dapat dirasakan akibat El Nino umumnya adalah kekeringan. Di Nusa Tenggara Barat, misalnya, status kekeringan masuk ke dalam kategori Siaga dan Awas.

Sementara di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kekeringan mulai melanda sekitar 20 kecamatan. Di sana, ribuan warga terpaksa menggunakan air sungai yang keruh untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi dan mencuci.

Dampak lain dari kekeringan adalah massifnya gagal panen. Kementan pun memprediksi 2.269 hektare tanaman padi terancam gagal panen karena El Nino.

Dari gagal panen, dampak ekonomi siap mengantre di belakangnya. Sebab, langkanya pasokan menyebabkan kenaikan harga pasar.

Rendy menjelaskan bahwa kekeringan memiliki empat tipe. Pertama, kekeringan meteorologis (meteorological drought). Kekeringan ini disebabkan karena lama tidaknya hujan turun, atau dengan kata lain tingkat curah hujan di bawah normal.

Kedua, kekeringan hidrologis (hydrological drought). Kekeringan terjadi ketika pasokan air tanah dan air permukaan berkurang.

Ketiga, kekeringan agronomis (agricultural drought) atau yang berkaitan dengan berkurangnya kandungan air di dalam tanah, sehingga pertumbuhan tanaman dapat terganggu.

"Kemudian kekeringan sosial ekonomi (socioeconomic drought) yang dampaknya ke lingkungan, migrasi, konflik, hingga kerugian ekonomi lainnya," ujarnya.

Dampak lainnya adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Berdasarkan pantauan BMKG dari 28 Agustus hingga 2 September 2023, sebaran titik panas di Indonesia menunjukkan peningkatan terutama di daerah rawan karhutla.

Untuk daerahnya, Pulau Kalimantan memiliki titik panas terbanyak dengan tingkat kepercayaan tinggi, diikuti dengan Papua bagian selatan, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Sumatera bagian Selatan.

"Jika terjadi kebakaran lahan dan hutan dampak tentu lebih terasa di musim kemarau dan kering seperti sekarang ini dibandingkan saat musim hujan," ucapnya.

Kendati begitu, Rendy memaparkan bahwa El Nino yang terjadi pada tahun ini masih terbilang moderat, ketimbang pada tahun 1982, 1997, dan 2015.

Pada tahun tersebut El Nino Indonesia pernah mengalami fenomena El Nino kuat. Di mana curah hujan sangat rendah dan berakibat kekeringan yang ekstrem. Pasalnya pada masa tersebut curah hujan hanya mencapa 0-20mm per bulan selama dua bulan.

"Karena perubahan iklim yang disebabkan pemanasan global, yang memanaskan laut. Laut yang semakin memanas akan membuat ketidakstabilan dinamika atmosfer. Karena laut adalah komponen utama," jelasnya.

Nah, Kompasianer apakah kamu mulai merasakan dari dampak El Nino akhir-akhir ini? Dampak apa yang paling kamu rasakan?

Bagaimana pula kondisi pertanian dan hutan di sekitar daerahmu saat ini? Apakah turut terdampak dari adanya El Nino?

Kompasiana berkolaborasi dengan Kompasianer Rendy Artha Luvian dalam Topik Pilihan Kolaborasi ingin mengajak kamu berbagi laporan, cerita, dan pengalaman sekaligus menantang kamu untuk memberikan gagasan dan solusi terkait dari dampak El Nino ini, mulai dari sektor pertanian hingga ekonomi.

Tak ketinggalan, kamu juga boleh kok bertanya langsung kepada Kompasianer Rendy Artha terkait hal tersebut.

Nantinya, artikel dan pertanyaan terbaik akan ditanggapi langsung oleh Kompasianer Rendy Artha, lho.

Sudah siap? Tunggu info selanjutnya, ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun