Ditelisik lebih jauh, El Nino memiliki memiliki efek domino. Dampak yang dapat dirasakan akibat El Nino umumnya adalah kekeringan. Di Nusa Tenggara Barat, misalnya, status kekeringan masuk ke dalam kategori Siaga dan Awas.
Sementara di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kekeringan mulai melanda sekitar 20 kecamatan. Di sana, ribuan warga terpaksa menggunakan air sungai yang keruh untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi dan mencuci.
Dampak lain dari kekeringan adalah massifnya gagal panen. Kementan pun memprediksi 2.269 hektare tanaman padi terancam gagal panen karena El Nino.
Dari gagal panen, dampak ekonomi siap mengantre di belakangnya. Sebab, langkanya pasokan menyebabkan kenaikan harga pasar.
Rendy menjelaskan bahwa kekeringan memiliki empat tipe. Pertama, kekeringan meteorologis (meteorological drought). Kekeringan ini disebabkan karena lama tidaknya hujan turun, atau dengan kata lain tingkat curah hujan di bawah normal.
Kedua, kekeringan hidrologis (hydrological drought). Kekeringan terjadi ketika pasokan air tanah dan air permukaan berkurang.
Ketiga, kekeringan agronomis (agricultural drought) atau yang berkaitan dengan berkurangnya kandungan air di dalam tanah, sehingga pertumbuhan tanaman dapat terganggu.
"Kemudian kekeringan sosial ekonomi (socioeconomic drought) yang dampaknya ke lingkungan, migrasi, konflik, hingga kerugian ekonomi lainnya," ujarnya.
Dampak lainnya adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Berdasarkan pantauan BMKG dari 28 Agustus hingga 2 September 2023, sebaran titik panas di Indonesia menunjukkan peningkatan terutama di daerah rawan karhutla.
Untuk daerahnya, Pulau Kalimantan memiliki titik panas terbanyak dengan tingkat kepercayaan tinggi, diikuti dengan Papua bagian selatan, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Sumatera bagian Selatan.
"Jika terjadi kebakaran lahan dan hutan dampak tentu lebih terasa di musim kemarau dan kering seperti sekarang ini dibandingkan saat musim hujan," ucapnya.