Kesibukan jelang Hari Raya Iduladha tidak saja melibatkan para para penjual hewan kurban dan tukang jagal, momen hari raya ini juga rupanya turut menyibukkan para dokter hewan, tak terkecuali Kompasianer drh. Iwan Berri Prima, M.M.
Hari Raya Iduladha, juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban, adalah salah satu perayaan penting dalam agama Islam. Hari raya ini tak lepas dari peringatan peristiwa kurban, yaitu ketika Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan putranya, Nabi Ismail, sebagai wujud ketaatannya atas perintah Allah Swt.
Karena itu Iduladha diperingati sebagai renungan nilai-nilai kesetiaan, pengorbanan, dan ketaatan kepada Allah Swt sekaligus kesempatan untuk berbagi dengan orang lain dan membantu mereka yang membutuhkan.
Selama perayaan Idul Adha, umat Muslim yang mampu mengikuti tradisi untuk menyembelih hewan kurban seperti domba, sapi, atau kambing untuk kemudian dibagikan kepada yang membutuhkan. Di sinilah dokter hewan berperan, untuk memastikan seluruh hewan kurban sehat dan berkualitas.
Kompasiana baru-baru ini berbincang dengan Kompasianer drh. Iwan Berri Prima. Panjang lebar kami berbicara mengenai dokter hewan dan hewan kurban.
Dokter Berri, begitu kami menyapa, merupakan lulusan kedokteran hewan Institut Pertanian Bogor. Saat ini dia bertugas di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kabupaten Bintan, Kepri, dan menjabat sebagai pejabat otoritas veteriner.
Meski berdinas dan tinggal di Bintan, Dokter Berri sebenarnya lahir di Yogyakarta, Jawa Tengah. Perjalanan dinas orangtualah yang membawa dirinya menginjakkan kakinya di Bintan hingga hari ini. Dan dia jatuh cinta terhadap pulau ini, terutama pada keindahan pantainya.
Cukup sulit memang menyangkal keindahan Pulau Bintan di Provinsi Kepulauan Riau ini. Di sana ada sejumlah pulau dan tempat wisata yang rasanya wajib kita dikunjungi sekali seumur hidup. Sebut saja Pantai Senggiling, atau Pulau Ranoh, atau juga Pulau Beralas Pasir.
Lokasinya yang berdekatan dengan Singapura dan Malaysia juga menjadi nilai lebih tersendiri, khususnya dalam menarik wisatawan mancanegara.
"Saya kalau healing ke pantai," katanya.
Diungkapkan Dokter Berri, keindahan pantai-pantai di Bintan membawanya untuk bercita-cita sebagai pelaut—sebuah impian yang mungkin tidak banyak dicita-citakan anak seusianya saat itu. Walakin, cita-cita itu harus dia kubur lantaran tak mendapat restu sang ibu.
Belakangan, Dokter Berri baru mengetahui bahwa dia dan keluarganya adalah keturunan dari seorang buyut yang berprofesi sebagai angkatan laut yang gugur dalam peristiwa Pertempuran Laut Arafuru, di Laut Aru, Maluku, bersama Komodor Yos Sudarso dengan KRI Matjan Tutul.
Dalam berbagai catatan sejarah, pertempuran Laut Arafuru juga kerap disebut pertempuran Laut Aru. Hal ini merujuk pada lokasi terjadinya pertempuran antara Indonesia dan Belanda.
Pada zaman itu, pertempuran Laut Arafuru bisa dibilang berlangsung sengit. Mengingat, kedua negara mengerahkan alat utama sistem persenjataan (alutsista) canggih pada zamannya.
Meski begitu KRI Matjan Tutul harus tumbang akibat diterjang meriam Belanda. Karena itu, dia menduga, dirinya tidak mendapat restu untuk menjadi pelaut.
"Saya tidak pernah tanya ke ibu alasannya," ungkapnya.
Tak mendapat restu untuk menjadi pelaut, Dokter Berri tidak putus arah. Dia menjalankan amanah sang ibu untuk menjadi seorang dokter. Dia pun mendaftarkan diri di tiga fakultas kedokteran dari tiga kampus berbeda di Indonesia, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), Kedokteran Umum Universitas Diponegoro (Undip), dan Kedokteran Gigi di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Nasib baik pun menyertainya. Dia diterima di Kedokteran Hewan IPB dan Kedokteran Gigi UGM. Sementara dia belum berhasil di Undip.
"Saat pengumuman di Undip itu saya nggak lolos. Jujur, saya di SMA, masa sekolah, jarang gagal," katanya. "Begitu gagal sekali itu rasanya kayak dunia nggak berpihak pada saya. Saya malu, betul. Maka kalau ada yang gagal nikmatilah kegagalan itu. Kegagalan itu rahmat."
Praktik ilmu kedokteran hewan di Indonesia sendiri boleh dibilang salah satu rumpun keilmuan yang telah ada sejak era kolonial Belanda dan terus berlangsung serta berkembang hingga saat ini.
Kendati begitu, Dokter Berri menjelaskan, kedokteran hewan di Indonesia belum membuka spesialisasi. Berbeda dengan dokter manusia yang sudah banyak spesialisasinya seperti gigi, mata, hingga jantung.
"Dokter hewan di Indonesia masih bersifat umum, atau dokter hewan umum. Untuk spesialis, dokter hewan fokus pada spesies, semisal primata atau unggas. Sehingga mau tidak mau kita harus menguasai semua (spesies)," ujarnya. Kebetulan saya berada di dinas dan bergabung dengan peternakan. Sehingga bidang saya peternakan dan kesehatan hewan. Jadi secara tidak langsung berada di peternakan, karena amanah di pemda sendiri demikian."
Meski begitu menurutnya kondisi kedokteran hewan di Indonesia sudah jauh lebih baik ketimbang era Orde Baru. Kala itu kedokteran hewan di Indonesia hanya dimiliki lima universitas berbeda dengan ikatan dinas. Kini, per 2023, tercatat terdapat 12 universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran hewan.
Hewan Kurban Sehat dan Berkualitas
Sebagai pejabat otoritas veteriner kesibukan Dokter Berri tak lepas dari urusan kesehatan hewan, terlebih di momen Iduladha seperti sekarang ini. Maklum, dia harus memastikan segala penanganan kesehatan hewan kurban berjalan dengan baik.
Dia menerangkan, selama masa Iduladha, biasanya disibukkan melakukan pengecekan terhadap hewan kurban.
Pemeriksaan sendiri dilakukan secara fisik, mulai dari feses, sistem pencernaan, pernafasan, hingga peredaran darah hewan kurban itu sendiri.
"Ditambah lagi ketentuan hewan kurban berdasarkan umur. Sehat saja nggak cukup. Saya sering lihat hewan-hewan kurban yang gemuk dan baik secara fisik tetapi belum cukup umur," katanya.
Mengutip situs Kementerian Agama hewan kurban harus mencapai usia minimal yang telah ditentukan syariat.
Pada sapi, misalnya, minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun ke-3. Domba usia 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Dan kambing minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke-2.
Untuk mengetahui itu, Dokter Berri menyebut bisa dilihat dari kondisi gigi, bukan tampilan fisik luar.
"Jadi kalau sudah dua tahun gigi serinya (sapi) sudah berubah, ada satu gigi yang sudah menjadi gigi tetap," ungkapnya.
Selain gigi, hewan kurban sehat dan berkualitas tidak boleh cacat. Salah satu yang bisa dilihat adalah melalui testis hewan kurban jantan.
Selanjutnya yang tak kalah penting adalah Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) untuk hewan kurban.
SKKH, layaknya Surat Keterangan Sehat yang diterbitkan oleh dokter, merupakan dokumen yang dikeluarkan oleh dokter hewan atau otoritas kesehatan hewan yang menyatakan bahwa hewan yang akan dikurbankan memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan.
Surat ini memberikan bukti bahwa hewan tersebut dalam kondisi sehat dan bebas dari penyakit yang dapat membahayakan kesehatan manusia.
Selain itu, dalam SKKH, biasanya akan menyatakan keterangan tambahan tentang masa berlaku SKKH. Artinya, SKKH tidak berlaku selamanya. Pun, jika ditemukan kasus atau gejala penyakit pada hewan yang telah diperiksa, maka wajib dilakukan pemeriksaan ulang.
Lain pembeli lain penjual. Dokter Berri menyarankan kepada pengusaha hewan kurban untuk membuka usahanya atas izin otoritas, dalam hal ini adalah dinas kesehatan hewan. Dia berlasan, hewan kurban punya beragam potensi penularan penyakit.
Selanjutnya hewan tidak dijadikan satu dengan kekhususan sesuai jenis hewan kurban, serta ketersediaan makan dan minum selama 24 jam.
"Tak kalah penting bobot hewan kurban. Usahakan hewan kurban bobotnya terus bertambah. Dengan cara apa, jangan sampai stres," sebutnya.
Dokter Berri berpendapat sapi adalah hewan yang mudah stres. Stres pada sapi ini dapat berdampak pada kualitas daging yang dihasilkan.
Untuk menjaga itu dia menyarankan untuk menerapkan sistem digital dengan memanfaatkan teknologi demi mengurangi interaksi antara sapi dengan manusia yang dapat menyebabkan tingkat stres hewan kurban meningkat.
Selain itu memanfaatkan teknologi juga dapat meminimalisir mencegah terjadinya penularan penyakit, baik terhadap hewan maupun manusia.
Terakhir, pengusaha sebaiknya terus berkoordinasi dengan dinas terkait kesehatan hewan di wilayahnya masing-masing.
"Koordinasi itu penting. Kalau ada apa-apa agar segera diketahui. Jangan menyembunyikan penyakit. Kejadian selama ini yang membuat heboh karena itu, tidak melapor," ungkapnya.
Nah, bagaimana Kompasainer, sudah tahu dong apa saja yang perlu diketahui sebelum membeli kurban yang sehat dan berkualitas?
Kalau masih penasaran, kamu bisa ikuti tulisan Kompasianer drh. Iwan Berri Prima terkait hewan kurban di sini.
Kompasiana kali ini juga berkolaborasi dengan Kompasianer drh. Iwan Berri Prima untuk mengajak sekaligus menantang kamu bagaimana memilih dan menentukan hewan kurban yang sehat dan berkualitas.
Kamu juga boleh lho kalau punya pertanyaan yang ingin ditanyakan ke Kompasianer drh. Iwan Berri Prima seputar hewan kurban.
Sabar dulu, tunggu tanggal mainnya, ya!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI