Fenomena joki ilmiah atau joki akademik menjadi perbincangan banyak orang menyusul hasil investigasi yang dilakukan oleh Kompas. Faktanya banyak akademisi yang ternyata menggunakan jasa joki ilmiah ini, baik mahasiswa maupun dosen.
Kehadiran joki ilmiah ini dinilai sebagai cerminan kegagalan perguruan tinggi dalam hal penyelenggaraan pendidikan.
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa seorang ghostwriter (penulis bayangan) tidaklah sama dengan joki ilmiah, karena cara kerja joki ilmiah dan ghostwriter berbeda.
Lantas, bagaimana cara joki ilmiah bekerja membuat karya ilmiah pesanan kliennya?
Selain membahas soal joki ilmiah, Kompasiana juga merangkum artikel Infinite lain yang menarik dan populer lain, mulai dari upaya meminimalisasi risiko tindak pidana pencucian uang di koperasi hingga alasan Jakarta tetap macet meski sudah memiliki transportasi umum.
Belum lama ini ramai diperbincangkan masalah perjokian akademik. Aksi perjokian ini lahir seiring merebaknya jasa pengetikan merangkap pembuatan skripsi di sekitar kampus.
Maraknya jasa joki ilmiah yang beredar, maka bisa dibilang fenomena ini adalah punncak gunung es kegagalan perguruan tinggi kita dalam hal penyelenggaraan pendidikan.
Terutama, perguruan tinggi kita gagal dalam membentuk cara berpikir saintifik yang ogis dan sistematis pada mahasiswa. (Baca selengkapnya)
Kompasianer Bambang Trim mengatakan bahwa seorang yang berprofesi sebagai ghostwriter atau penulis bayangan adalah profesi yang legal dan tidak bisa disamakan dengan joki ilmiah.
Sebab, menurutnya seorang ghostwriter bekerja sesuai dengan standar, kaidah, dan kode etik penulisan. Selain itu juga seorang ghostwriter juga terikat kontrak dengan pemilik ide utama tulisan. (Baca selengkapnya)
Baru-baru ini PPATK melihat ada indikasi pencucian uang di 12 koperasi simpan pinjam yang jumlahnya cukupp mencengangkan, yakni 500 triliun rupiah.
Maka dari itu, untuk meminimalkan risiko Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di koperasi adalah degan cara menerapkan prinsip distribusi kepada anggota dan pelayanan kepada anggota untuk mengatur keseimbangan rasio keuangan koperasi. (Baca selengkapnya)
Transportasi umum di Jakarta sudah banyak. Tapi kok masih macet ya?
Belum lama ini terdapat hasil survei yang dirilis Tomtom Traffic Index, menurut hasil survei itu DKI Jakarta menempati urutan ke-29 sebagai kota termacet dari 389 kota yang ada di dunia.
Posisi Jakarta dalam hasil survei itu juga diketahui tertinggi di ASEAN. Posisi DKI Jakarta berada di urutan ke-29 berbeda jauh dengan negara-negara lain di ASEAN seperti, Bangkok yang berada di urutan ke-57, Singapura ke-127, dan Kuala Lumpur ke-143. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H