Barangkali tidak ada yang lebih menyadarkan kita hari-hari ini bahwa kecerdasan buatan itu nyata adanya selain sebuah terobosan bernama ChatGPT, model bahasa yang dirancang dengan kemampuan memahami konteks dalam suatu percakapan sekaligus menjawab pertanyaan dengan tepat.
ChatGPT pada dasarnya merupakan sebuah chatbot yang dirancang untuk melakukan interaksi dengan manusia melalui chat atau pesan teks untuk memahami permintaan dan pertanyaan dari pengguna dan memberikan jawaban atau informasi yang relevan.
Kemampuan yang dimiliki ChatGPT ini pun lantas menarik perhatian 10 juta pengguna dalam sepekan sejak peluncuran perdananya, dan menjadi kurang lebih 100 juta pengguna dalam dua bulan selanjutnya.
ChatGPT sendiri dikembangkan oleh firma penelitian dan pengembangan teknologi kecerdasan bautan, OpenAI, yang didirikan pada 2015 di California, Amerika.
Meledaknya ChatGPT membuat kami ingin tahu lebih jauh, seperti apa program ini bekerja, bagaimana ia bisa digunakan, hingga bagaimana kita seharusnya bersikap atas kehadiran era kecerdasan buatan ini.
Awal Februari kami berbincang dengan Kompasianer sekaligus Solution Architect/Data Modeler Veronika Gultom untuk membahas dan mengulas terkait kecerdasan buatan.
Sepulang menjalani aktivitas hariannya sebagai konsultan IT, Kompasianer Veronika Gultom menyempatkan waktunya untuk berbincang dengan kami via video conference.
Menurut Veronika kecerdasan buatan sudah ada lama hadir di tengah-tengah kita. Namun, kian terdengar namanya setelah kehadiran sebuah ChatGPT.
Veronika beranggapan ada kemungkinan ChatGPT bekerja seperti sebuah situs bernama appen.com, sebuah perusahaan teknologi yang menyediakan solusi kecerdasan buatan.
Dihimpun dari berbagai sumber, perusahaan appen.com berfokus pada pengembangan teknologi AI dan mesin pembelajaran yang dapat membantu bisnis dalam mengoptimalkan serta meningkatkan kinerja, serta mengembangkan produk baru. appen.com didirikan pada 1996 di Sydney, Australia.