Raksasa teknologi dunia, Google, misalnya, yang terpaksa terbangun dari tidur lelapnya karena tak ingin tertinggal untuk persaingan teknologi AI.
Melalui CEO Google dan Alphabet, Sundar Pichai, Google mengumumkan bahwa pihaknya telah menghadirkan proyek kecerdasan buatan yang diberi nama Bard.
Bard mengandalkan model AI yang sudah dikembangkan melalui Language Model for Dialogue Applications (LaMDA), yang dibuat berdasarkan lebih dari 1,5 triliun kata untuk dapat meniru cara orang berkomunikasi dalam obrolan tertulis (KOMPAS/01/02/2023).
Nantinya, sistem ini, dapat mengamati bagaimana kata-kata berhubungan satu sama lain sekaligus memprediksi kata-kata apa saja yang akan muncul untuk menghasilkan sebuah kalimat atau paragraf.
Lain ChatGPT, lain Dall-E. Meski sama-sama besutan OpenAI, Dall-E lebih dulu lahir. Hanya saja, jika ChatGPT menghasilkan sebuah kalimat, Dall-E menghasilkan gambar.
Cara kerjanya pun serupa, seorang pengguna tinggal memasukan sebuah kalimat kunci, maka Dall-E akan menghasilkan gambar.
Dall-E sendiri tak lain diambil dari nama pelukis ternama Salvador Dali dan karakter WALL-E dari Disney Pixar.
Selain Dall-E ada juga Stable Diffusion, kecerdasan buatan serupa seperti Dall-E.
Kehadiran ChatGPT, Dall-E, mapun Bard pada akhirnya memunculkan sebuah pertanyaan, mampukah kita menghasilkan kecerdasan buatan sendiri?
Veronika Gultom menilai kita sangat mungkin untuk membuat dan mengembangkan kecerdasan buatan sendiri. Hanya saja, kuncinya adalah keterbukaan pikiran.