Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Ketahui Cara Menghalau Udara Panas di Rumah bersama Arsitek Franhky Wijaya

16 Januari 2023   23:50 Diperbarui: 17 Januari 2023   22:45 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari sebelum berlibur akhir tahun, Kompasianer Franhky Wijaya menyempatkan waktu untuk berbincang beberapa hal dengan Kompasiana. Topiknya tentu tak jauh-jauh dari kepakaran Frankhy di seputar dunia arsitektur dan tata kota.

Mengenyam pendidikan S2 arsitektur dan tata kota di University of Stuttgart Jerman, Frankhy memiliki pengalaman bekerja untuk beberapa pengembang properti skala nasional. Sudah ada beberapa proyek yang telah ia kerjakan, seperti apartemen hingga perumahan.

Bahkan profesi terkininya sebagai Master Planner mengharuskannya mengombinasikan beberapa disiplin ilmu menjadi sebuah blue print tata ruang yang kompleks dan mengakomodasi banyak aspek. Mulai dari hunian, prasarana penunjang, wilayah komersil, hingga memikirkan aspek sosial serta lingkungan.

Memang, banyak yang mengira bahwa pekerjaan arsitektur itu sekadar merancang bangunan saja. Padahal tidak, malah dalam artian lebih luas itu arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro hingga mikro.

Dalam pengalamannya merancang hunian dan lahan, ada satu perhatian yang ia soroti sehubungan dengan iklim tropis di Indonesia. Apalagi kalau bukan cuaca ekstrem yang bisa berganti dari panas ke hujan dalam waktu singkat.

Berbicara tentang hawa panas, siapa yang bisa menampik limpahan cahaya matahari di bumi Indonesia ini. Rasa-rasanya, keluhan "Duh panas banget sih!" tak pernah lepas dari keluhan kita sehari-hari. Tapi tahukah kamu bahwa hawa panas di rumah sebenarnya bisa diregulasi?

Kompasianer Frankhy Wijaya berbaik hati membagikan ilmunya kepada kita mengenai isu panas di hunian.

Udara Panas Selalu Bergerak ke Atas
Kami bertanya ke Kompasianer Franhky, "Apakah benar langit-langit yang tinggi membantu ruangan terasa lebih sejuk?"

Jawaban pertanyaan tersebut ternyata tak bisa selesai dengan ya dan tidak saja. Ada penjelasan logis di baliknya.

Dikarenakan berat jenisnya yang lebih ringan, udara panas memang selalu bergerak ke atas. Hal itulah yang membuat rumah dengan langit-langit yang tinggi dapat membantu ruangan terasa lebih sejuk, dikarenakan udara panas yang bergerak menjauh ke atas, cukup jauh dari titik penghuninya beraktivitas.

Tetapi, langit-langit tinggi tak lantas otomatis menjamin ruangan tersebut terasa sejuk, jikalau tidak disertai dengan sistem ventilasi yang baik.

Frankhy menyarankan sebuah rumah memiliki "jalur angin" masuk dan keluar. Udara yang masuk, harus pula dibuang keluar. Oleh karena itu, keberadaan jendela pada bagian depan rumah sebaiknya diimbangi dengan keberadaan lubang angin pada bagian belakang rumah supaya udara tadi bisa keluar dan tidak terperangkap di dalam rumah.

Untuk melancarkan aliran udara dari depan ke belakang atau sebaliknya, kita bisa memasang kipas angin langit-langit. Mengapa bukan kipas angin duduk atau berdiri? Lagi-lagi karena sesungguhnya udara panas biasanya "beredar" di sebelah atas.

Sayangnya, tak semua hunian memiliki lubang ventilasi ini. Bahkan penghuni kerap menutup bagian belakang rumahnya menjadi dapur tertutup tanpa ventilasi untuk mengoptimalkan luas bangunan.

Menyikapi kasus tersebut, Kompasianer Franhky menyarankan pemasangan exhaust fan untuk membantu pembuangan udara.

Terapkan Lapisan Fasad Ganda pada Rumah
Akan tetapi, menciptakan hunian yang lebih sejuk tak berhenti sampai situ. Rumah dengan ventilasi yang baik pun akan tetap terasa panas jika menghadap barat atau timur. Kalau pasang AC pun bakal boros energi dan berat di tagihan listrik.

Frankhy menyadari bahwa terkadang baik pengembang maupun konsumen tidak dapat menghindari risiko mendapati lahan yang menghadap barat dan timur. Memang keuntungannya, rumah menghadap barat/timur akan terasa mendapatkan penerangan secara alami dan cucian pun cepat kering. Tapi kekurangannya, seisi rumah bisa merasakan panas yang luar biasa.

Franhky menceritakan pengalamannya ketika membangun sebuah apartemen menghadap timur/barat. Kebetulan, pemiliknya memasang parket pada lantai.

"Masalahnya, ketika apartemen tersebut tidak langsung ditempatin udara di dalam ruangan jadi pengap. Lama-lama, parket yang dipasang tadi malah pada "ngangkat" karena panas," cerita Frankhy.

Belajar dari berbagai macam risiko serupa membuat Frankhy berpikir keras bagaimana strategi membuat hunian menghadap timur/barat lebih nyaman bagi penghuninya.

Salah satunya ialah dengan membuat double-skin facade (fasad ganda).

Teknik ini pada dasarnya membuat sinar matahari tak langsung mengenai fasad utama tempat penghuninya tinggal. Fasad terluar akan menerima panas matahari sehingga fasad bagian dalamnya lebih terlindungi dan mempertahankan hawa yang lebih stabil.

Bentuknya fasad ganda bisa berbagai macam, bergantung efektivitasnya, anggaran, serta selera penghuni. Bisa dengan menambahkan kaca, tembok dari batuan alam, tritisan, atau bahkan sesederhana menanam pohon dan menambahkan tirai bambu!

Jeniusnya, sesungguhnya rumah-rumah tradisional sudah banyak menerapkan ini. Maka tak heran bila rumah tradisional terasa sejuk karena dinaungi pohon, tirai bambu, dan membuat zona perlindungan dari matahari lainnya.

"Coba tengok saja rumah orang-orang Betawi, di bagian depan suka ada kerai yang digulung. Nah kira-kira seperti itu," lanjutnya.

Arsitek yang Juga Seorang Guru Bahasa Jerman
Memiliki profesi sebagai Master Planner tak lantas membuat Frankhy berpuas diri. Pengalamannya tinggal di Jerman semasa kuliah membuatnya ingin berbagi ilmu dengan mendampingi anak SMA/SMK atau siapapun yang mau mengadu nasib bekerja di Jerman, tetapi belum memiliki kemampuan dasar berbahasa Jerman.

"(Negara) Jerman sedang kekurangan tenaga kerja, jumlah kelahiran berkurang sementara negara-negara maju butuh tenaga kerja," katanya.

Jadi, selain fokus di bidang properti, Kompasianer Franhky pun menjadi dosen tamu dan pengajar Bahasa Jerman. "Belajar sama saya tidak begitu lama, kok, persiapan 6 bulan juga cukup," lanjutnya.

Tak hanya mengikuti perkembangan kebutuhan tenaga kerja di Jerman, ia pun menjadikan pengalamannya mengamati bangunan di Jerman sebagai modal membuat desain bangunan di Tanah Air.

Ia memperhatikan bahwa Jerman memiliki caranya sendiri dalam meregulasi udara panas dalam bangunan. Salah satunya dengan membuat jendela bukaan ke atas. Tentu saja karena orang Eropa menyadari bahwa udara panas yang harus dialirkan terdapat di bagian atas.

Akan tetapi, menurutnya, jendela bukaan ke atas kurang sesuai bila diterapkan di Indonesia yang beriklim tropis. Bisa-bisa air semakin mudah masuk dalam ruangan saat musim hujan.

Di luar itu, Kompasianer Frankhy menyadari ada perbedaan yang sangat ketara dari cara orang Indonesia dan Jerman saat membangun rumah. Rumah orang Jerman biasanya sudah ada ukuran bakunya, tidak seperti di Indonesia yang selalu "custom".

"Kalau di Jerman itu sudah ada modulnya setiap bahan bangunan, bentuknya knockdown. Jadi kalau mereka mau ganti pintu, gampang. Karena semua pintu dan jendela ukurannya standar, sama. Bukan kayak kita yang apa-apa beda ukuran." lanjutnya.

Maka tidak heran jika kita kerap merasa kesulitan dalam merenovasi ataupun membangun rumah. Tentu saja karena kita harus memperhatikan mereknya, ukurannya, bahannya. Belum lagi kalau beda tukang, bisa beda pula ukurannya. Waktu pengerjaan dan biaya pun bisa jadi bengkak karenanya.

Nah Kompasianer, mumpung masih awal tahun, apakah Kompasianer ada yang merencanakan untuk melakukan renovasi rumah? Mungkin Kompasianer bisa memasukkan komponen ventilasi, fasad ganda, atau penggunaan material di lantai yang dapat membuat rumah terasa lebih sejuk?

Kira-kira apa kendala yang terjadi di rumah Kompasianer sehingga rumah terasa panas sepanjang tahun? Atau mungkin rumah panas, tapi kok dindingnya lembab ya? Jika rumah Kompasianer menghadap timur/barat, apa yang selama ini dilakukan untuk mengakali udara panas? Berapa besaran PK AC di rumah?

Yuk ikutan tantangan menulis tentang cara mengakali rumah supaya bebas dari panas bersama tamu Topik Pilihan Kolaborasi kali ini: Franhky Wijaya!

Tunggu segera pengumanan selengkapnya dalam waktu dekat di Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun