Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Artikel Utama

Junanto Herdiawan: Jangan Overthinking terhadap Resesi

12 November 2022   06:42 Diperbarui: 13 November 2022   18:16 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia berkali-kali mengusap wajah dan rambutnya. Terpancar kelelahan saat kami menjumpainya melalui daring, Senin (07/11/2022). Maklum, Kompasianer Junanto Herdiawan baru pulang Umrah sehari sebelumnya. Masih jetlag, boleh dibilang.

Namun kelelahan itu tak lantas menyurutkan semangat perjumpaan dengan kami. Kesungkanan kami buru-buru dia halau. "Nggak apa-apa. Santai, santai," katanya.

Dengan Mas Jun, begitu dia biasa disapa, kami berjumpa sekira 90 menit. Kami memang tidak membahas banyak hal, tetapi ihwal G20 hingga resesi ekonomi membuat percakapan kami cukup hangat.

Sejak 2008 Junanto telah aktif ber-Kompasiana. Sejak saat itu ia telah banyak menghasilkan tulisan dari beragam topik, mulai dari isu ekonomi, catatan perjalanan, hingga gaya hidup.

Ia mengakui bahwa Kompasiana adalah tempatnya mengasah kemampuan menulis. Hampir setiap minggu dia selalu menyisihkan waktunya untuk membuat satu tulisan. Sebab, katanya, cara paling baik menulis adalah dengan menulis. Selain itu, tentunya harus banyak membaca.

"Apalagi menulis di Kompasiana langsung ditanggapi oleh netizen. Jadi kita makin berhati-hati dalam menulis dan jadi semakin matang tulisan kita. Karena kalau tulisan kita tidak bagus ada komen-komen. Makanya saya menulis hampir setiap minggu (untuk) mengasah kemampuan menulis. Karena ditanggapi, direspons, menulisnya jadi luwes," ungkapnya.

Dia pun berpesan, kepada khususnya anak-anak muda, untuk berlatih menulis.

"Bagus kalau anak-anak muda kita dorong menulis di Kompasiana. Karena sekolah terbaik adalah menulis. Dan Kompasiana itu adalah wadahnya. Gratis, tinggal nulis, banyak hadiahnya. Makanya harus dipertahankan ini Kompasiana," katanya.

Membumikan G20

"Karena tantangan terbesar di jalur finansial ini adalah bahasanya bahasa langitan, bahasa dewa. Kagak ngarti orang kalau ngomong sharing impact, international taxation. Sangat segmented dan nggak relate amat sama anak muda," ujarnya.

Junanto yang kini menjabat sebagai Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia tengah disibukkan menyambut persiapan puncak dari KTT G20 yang akan diselenggarakan di Bali, 15-16 November 2022 mendatang.

Kesibukannya sudah terasa dalam satu tahun terakhir, utamanya sejak Indonesia menerima penyerahan keketuaan dari Perdana Menteri Italia, kala itu, Mario Draghi, kepada Presiden RI Jokowi pada KTT G20 di Roma, Italia, 31 Oktober 2021 lalu.

"G20 ini saya berperan di tim komunikasinya, bersama-sama dengan tim komunikasi Kementerian Keuangan. Karena kalau di jalur finansial itu lead-nya adalah Kementerian Keuangan. Jadi BI ini anggota, ngikut gitu lho. 'Ketuanya' Kementerian keuangan. Kita menjadi bagian dari tim komunikasi jalur finansial," katanya.

Sebagaimana dia ungkapkan, ada cukup banyak tugas yang dijalaninya ini. Mulai mengatur segala hal terkait komunikasi G20 jalur finansial dan bekerja sama dengan lintas lembaga seperti dengan Kominfo dan Kantor Staf Presiden, Junanto juga membantu penyampaian pesan-pesan G20 baik melalui kegiatan-kegiatan talkshow di TV, media briefing, hingga menyiapkan materi-materi komunikasinya.

Namun, yang cukup menantang baginya adalah menyederhanakan semua bahasa dan istilah-istilah yang berkaitan dengan G20. Membumikan yang di langit, barangkali begitu gambaran tugasnya.

"Karena tantangan terbesar di jalur finansial ini adalah bahasanya bahasa langitan, bahasa dewa. Kagak ngarti orang kalau ngomong sharing impact, global taxation. Sangat segmented dan nggak relate amat sama anak muda," ujarnya.

Harus diakui, G20 sendiri masih terdengar asing oleh sebagian besar masyarakat. Pasalnya, forum ekonomi berskala internasional ini bisa dibilang cukup tersegmentasi.

"Tetapi ada beberapa tema yang relate dengan anak muda. Misalkan pembayaran digital. Sekarang anak muda sejak pandemi pembayarannya lebih digital. Sekarang ada keinginan pembayaran lintasnegara, crossborder payment. Pembayaran digital nggak cuma di kita doang, tetapi anak muda suka traveling, jalan-jalan ke Malaysia, ke Thailand, nggak usah bawa baht, nggak usah bawa ringgit, nggak usah bawa dolar singapur, cukup bawa handphone yang ada QRIS. Nah kita kerja sama di G20, untuk mempermudah pembayaran antarnegara. Kita ke Thailand mau bayar tinggal klik. Nah itu salah satu yang relate dengan anak muda yang dibahas di G20," jelasnya.

Dikutip dari situs resmi Kementerian Luar Negeri RI, transformasi digital menjadi salah satu solusi utama dalam menggerakkan perekonomian nasional, utamanya di kala pandemi sekaligus telah menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang baru.

Untuk itu, pemerintah melalui G20 berfokus meningkatkan kemampuan dan literasi digital guna memastikan transformasi digital yang inklusif dan dinikmati seluruh masyarakat dan juga negara secara global.

Namun, apakah transformasi digital ini akan dapat memulihkan ekonomi nasional kita? Bagaimana juga dengan isu resesi yang kabarnya akan melanda Indonesia pada 2023?

Jangan Overthinking terhadap Resesi

"Jangan overthinking terhadap resesi. Banyak membaca dan menulis lagi di Kompasiana untuk berbagi narasi-narasi optimisme," katanya.

Obrolan kami bergeser menuju keterkaitannya dengan resesi. Peraih penghargaan PR Awards 2022 ini menekan bahwa resesi berbeda dengan krisis. Sebab resesi merupakan pelambatan ekonomi.

"Harus dibedakan, resesi itu masalah makro ekonomi. Penyelesainnya (secara) makro," katanya.

Kemudian Junanto juga menerangkan sejatinya resesi perlu dilihat dengan menyeluruh dan secara global. Dia mencontohkan perang Rusia-Ukraina yang sampai hari ini masih terjadi serta berdampak pada kelangkaan energi. Hanya saja, negara-negara di Eropa yang paling merasakannya.

Untuk di Indonesia sendiri Junanto berpendapat juga akan berdampak, namun hanya pada level makro. "Memang akan berdampak ke Indonesia, yes, pasti. Tetapi kita akan harus membedakan kondisi sekarang tidak seperti dulu lagi. Kita punya kekuatan yang besar di sumber daya alam, ekspor kita bagus kalau lihat neraca perdaganan. Artinya kita bisa mengekspor lebih banyak daripada kita mengimpor sehingga kita punya kekuatan dasar ekonomi. Pondasi ekonomi kita lebih kuat," sebutnya.

Selain itu dijelaskannya, Indonesia memiliki kekuatan dari ekonomi digital. Hal ini dinilainya dapat menjadi penyelamat, sebagaimana pernah terjadi pada masa pandemi Covid-19 kemarin. Dengan pembayaran digital banyak UMKM di berbagai daerah sanggup bertahan dan keluar dari krisis.

Hasil riset "Navigating Indonesia's E-Commerce: Omnichannel as the Future of Retail" yang dikeluarkan SIRCLO, perusahaan teknologi asal Indonesia yang bergerak di bidang solusi e-commerce, sebagaimana dilansir KOMPAS.com (22/10/2021), menunjukkan hal demikian.

Dalam laporan tersebut, sebanyak 74,5 persen konsumen lebih banyak berbelanja online daripada berbelanja offline selama masa pandemi. Selain itu 17,5 persen konsumen offline mulai mencoba berbelanja secara online.

"Kan nggak bisa ketemu orang, tapi dia (UMKM) tetap bisa bikin barang, tetap bisa kirim, bayarnya pakai online. Bayangkan kalau tidak ada pembayaran digital, orang mesti ketemu bayar. Artinya dua tahun ketika pandemi itu menjadi penyelamat," terangnya.

"Jadi jangan menakut-nakuti, wah Indonesia ke depan bakal lebih parah, bakal krisis. Krisis itu memang ada, resesi di dunia memang ada, masalahnya memang berat, tetapi jangan menjadikan itu ketakutan kemudian kita menjadi kacau," imbuhnya.

Secara sederhana dia mengingatkan perlunya masyarakat untuk membelanjakan uangnya agar dapat melumasi roda perekonomian.

"Karena kalau semua orang menahan uang akan terjadi resesi. Akhirnya tidak terjadi pergerakan apa-apa. Itu yang terjadi krisis pandemi sehingga Bank Sentral di seluruh dunia membasahi uang, ada yang mencetak uang, menambah uang beredar supaya ekonominya berputar," ucapnya.

Karena itu, penulis buku Shocking Japan: Sisi Lain Jepang yang Mengejutkan ini pun berpesan untuk tidak perlu terlalu khawatir dengan isu resesi selama kita memahami kekuatan diri dan bangsa serta mempelajari dunia global.

"Jangan overthinking terhadap resesi. Banyak membaca dan menulis lagi di Kompasiana untuk berbagi narasi-narasi optimisme," katanya.

Nah, Kompasianer, bagaimana sudah tidak terlalu khawatir lagi kan soal isu resesi?

Menyambut momentum Group of Twenty (G20) yang akan berlangsung 15-16 November 2022, Kompasiana berkolaborasi dengan Kompasianer Junanto Herdiawan sekaligus ingin mengajak Kompasianer menumbuhkan optimisme untuk pulih dari keterpurukan ekonomi akibat COVID-19. Salah satunya dengan pengoptimalan penggunaan teknologi digital yang telah membantu usaha kecil menjalankan roda perekonomiannya.

Siap-siap, ya! Tunggu pengumuman selengkapnya di Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun