Apalagi untuk para wanita milenial, Kompasianer Irmina Gultom menjelaskan bahwa masih ada yang bisa dilakukan untuk meneruskan perjuangan R.A. Kartini di masa sekarang.
Sebagai contoh, Kompasianer Irmina Gulton menjelaskan untuk berani bermimpi tapi realistis. Menurutnya, dengan bermimpi para perempuan memiliki motivasi untuk menjalani hidup.
"Kita juga harus memperhitungkan segala faktor yang dapat memengaruhi proses pencapaian mimpi tersebut dan apa saja yang mungkin harus kita korbankan," tulisnya.
3. Hari Kartini Tanpa Sanggul, Kebaya dan Riuh Karnaval
Semangat kartini yang menderu tidak pernah terkubur dalam pingitan. Dalam "sangkar emasnya", membaca adalah kegemarannya, dan pena adalah sahabat karibnya.
Semakin banyak membaca, tulis Kompasianer Enang Suhendar, pemikiran progresif Kartini tentang emansipasi wanita dan pendidikan semakin tumbuh.
Oleh karena itu kita jadi paham: semakin banyak membaca, justru Kartini semakin dahaga akan ilmu dan pengetahuan.
"Membaca kembali surat-surat Kartini sama dengan membaca episode hidup perempuan yang mempunyai cita-cita berpijar bagai ledakan bintang beribu-ribu, dan semangat hidup yang selalu membaharu," tulisnya.
4. Karena Kita Nggak Pernah Tahu Jam Bangun Tidur Ibu Kartini
Apakah kualitas seorang perempuan hanya diukur dari kemampuannya pada ranah domestik saja?
Jika seperti itu, sehingga dibutuhkan waktu bangun tidur yang ideal bagi perempuan tersebut untuk mengerjakan semua tugas domestiknya.
Alih-alih memandang perempuan sebagai makhluk yang sama kompleksnya seperti laki-laki, tulis Kompasiner Widha Karina, semua orang hanya berfokus pada tubuh yang bergerak untuk bangun pagi dan menyiapkan kopi.
"Buat saya, perjuangan Kartini tidak sesempit kapan waktu bangun, seberapa banyak cucian, bentuk kebaya, sanggul, unggah-ungguh, atau berapa piring sajian yang dibuat oleh tangan saya," lanjutnya.