Pada hari-hari di mana semua orang bisa bersuara dan memperjuangkan kepentingan perempuan, pernahkah kita bertanya: siapa sosok Kartini masa kini?
Ada banyak jawaban dan alasan, tapi (menjadi) Kartini di era kekinian adalah upaya kita agar perjuangan Kartini terus berlanjut.
Belum lagi zaman sekarang penerimaan masyarakat semakin terbuka pada berbagai peran perempuan.
Banyak contohnya untuk bisa mengapresiasi itu kini perempuan yang bekerja tidak lagi jadi suatu hal yang aneh, perempuan menjadi pemimpin, ataupun tetap menjadi ibu rumah tangga, misalnya.
Lantas seperti apa diskursus mengenai (perjuangan) Kartini beberapa tahun belakangan ini?
1. Selamat Hari Kartini: Habis Corona, Terbitlah Terang
Berangkat dari merayakan atau selebrasi hari Kartini, Kompasianer Rasawulan Sari Widuri bertujuan untuk memaknai perjuangan R.A Kartini.
Menurutnya, spirit dan semangat yang dituangkan dalam beberapa kutipan masih relevan dengan kondisi yang kita hadapi saat ini.
"Pandemi corona memang hal buruk untuk sebagian orang. Namun hikmah yang dapat kita petik jauh lebih banyak," tulisnya.
Caranya adalah tahu bagaimana kita bersikap yang harus kita punya saat ini dengan jangan mengeluh dengan keadaan.
2. Menjadi Kartini Milenial
Generasi Milenial sebagai kaum yang mendominasi kelompok usia produktif saat ini tentunya memiliki banyak tantangan yang harus dihadapi.
Apalagi untuk para wanita milenial, Kompasianer Irmina Gultom menjelaskan bahwa masih ada yang bisa dilakukan untuk meneruskan perjuangan R.A. Kartini di masa sekarang.
Sebagai contoh, Kompasianer Irmina Gulton menjelaskan untuk berani bermimpi tapi realistis. Menurutnya, dengan bermimpi para perempuan memiliki motivasi untuk menjalani hidup.
"Kita juga harus memperhitungkan segala faktor yang dapat memengaruhi proses pencapaian mimpi tersebut dan apa saja yang mungkin harus kita korbankan," tulisnya.
3. Hari Kartini Tanpa Sanggul, Kebaya dan Riuh Karnaval
Semangat kartini yang menderu tidak pernah terkubur dalam pingitan. Dalam "sangkar emasnya", membaca adalah kegemarannya, dan pena adalah sahabat karibnya.
Semakin banyak membaca, tulis Kompasianer Enang Suhendar, pemikiran progresif Kartini tentang emansipasi wanita dan pendidikan semakin tumbuh.
Oleh karena itu kita jadi paham: semakin banyak membaca, justru Kartini semakin dahaga akan ilmu dan pengetahuan.
"Membaca kembali surat-surat Kartini sama dengan membaca episode hidup perempuan yang mempunyai cita-cita berpijar bagai ledakan bintang beribu-ribu, dan semangat hidup yang selalu membaharu," tulisnya.
4. Karena Kita Nggak Pernah Tahu Jam Bangun Tidur Ibu Kartini
Apakah kualitas seorang perempuan hanya diukur dari kemampuannya pada ranah domestik saja?
Jika seperti itu, sehingga dibutuhkan waktu bangun tidur yang ideal bagi perempuan tersebut untuk mengerjakan semua tugas domestiknya.
Alih-alih memandang perempuan sebagai makhluk yang sama kompleksnya seperti laki-laki, tulis Kompasiner Widha Karina, semua orang hanya berfokus pada tubuh yang bergerak untuk bangun pagi dan menyiapkan kopi.
"Buat saya, perjuangan Kartini tidak sesempit kapan waktu bangun, seberapa banyak cucian, bentuk kebaya, sanggul, unggah-ungguh, atau berapa piring sajian yang dibuat oleh tangan saya," lanjutnya.