Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Toxic Positivity", Sikap Positif yang Berdampak Buruk bagi Kesehatan Mental

11 Oktober 2021   20:16 Diperbarui: 12 Oktober 2021   12:50 1438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi toxic positivity yang berdampak buruk bagi kesehatan mental (sumber;PEXELS/Liza Summer)

"Lagi galau ya? Udah bawa santai aja"
"Lah, kamu mah enak cuma gitu aja, dulu aku lebih parah dari kamu"
"Gak usah sedih lagi, mungkin itu yang terbaik"

Ketika sedang bersedih karena menghadapi sebuah cobaan entah itu patah hati ataupun berita duka, mungkin kalian pernah mendapatkan kalimat seperti di atas, atau bahkan kalian pernah mengucapkan kalimat tersebut?

Beberapa orang mungkin akan merasa risih mendengar kalimat - kalimat tersebut diucapkan berkali-kali, kenapa bisa seperti itu? padahal kalimat seperti itu dianggap bisa membuat kita semangat lho.

Tapi, jika itu dilakukan secara terus menerus dan berlebihan, tentu tidak baik dan akan merubah pola pikir positif menjadi toxic positivity.

Menurut Kompasianer Ayu Diahastuti, Toxic positivity adalah sebuah keyakinan untuk mempertahankan pola pikir positif, dengan mengabaikan emosi lain dan hanya memvalidasi perasaan yang mendatangkan rasa gembira.

Baca juga: "Paltering", Sebuah Seni Berbohong dengan Mengatakan Hal Jujur 

Karena setiap orang yang sedang dalam masa sulit akan membutuhkaan waktu sendiri, sampai mereka menerima keadaan yang sedang menghampirinya.

Bukan dengan memaksa mereka menerima emosi positif secara berlebihan, justru dengan memaksanya mereka akan menipu dirinya sendiri, dengan seakan-akan dirinya terlihat kuat.

Hal ini, bisa membuat mereka memendam emosi sesungguhnya dan tidak bisa mengeluarkan emosi yang seharusnya ia keluarkan sehingga akan mengganggu kesehatan mentalnya.

Lalu, apa yang harus dilakukan ketika musibah datang dan apa yang harus dilakukan untuk melawan toxic positivity tersebut? Simak artikel berikut ini:

1. Ketika Musibah Datang, Lakukan Ini agar Tidak Bersedih Berkepanjangan

Ilustrasi perempuan bersedih | pexels/Ivan Samkov
Ilustrasi perempuan bersedih | pexels/Ivan Samkov

Dalam menjalani hidup, kita pasti pernah merasakan dua hal ini, yaitu sedih dan bahagia yang merupakan makanan sehari-hari yang datang silih berganti. Ya sedih dan bahagia merupakan hal yang membuat hidup kita lebih terasa berwarna dan penuh makna.

Ketika mendapatkan apa yang kita inginkan tentu kita akan merasa bahagia. Tapi, saat kita bersedih tentu perasaan kita jadi tidak enak, karena hati kita sedang berduka.

Hal ini tentu tidak baik jika terjadi dalam jangka waktu yang lama. Karena hal itu bisa membuat diri kita semakin terpuruk. Karena jika sedih berkepanjangan, tentu hal tersebut bisa berdampak tidak baik untuk diri kita sendiri dan orang yang ada di sekitar kita.

Lalu apa yang bisa kita lakukan agar kesedihan itu tidak terjadi secara berkepanjangan? (Baca selengkapnya)

2. Merajut Kesehatan Mental Tanpa "Positive Vibes Only"

ilustrasi berprasangka baik. (sumber: unsplash.com/@nate_dumlao)
ilustrasi berprasangka baik. (sumber: unsplash.com/@nate_dumlao)

"Ayo kamu bisa kok," kalimat dari seseorang yang ingin menyemangati. Sadarkah kita bahwa ucapan tersebut akan membuat lawan bicara kita yang sedang berduka menyangkali semua emosi yang sedang dirasakannya.

Sehingga orang tersebut akan merasa bahwa emosinya invalid. Ia tidak berduka. Padahal faktanya ia sedang berduka. Sehingga ia akan kehilangan momentum untuk berkontemplasi.

Baca juga: Toxic Masculinity, Racun Berbisa dan Pemikiran Sempit Kaum Pria 

"Berhenti berusaha membuat emosi menjadi invalid, karena semua emosi itu valid", kata Kompasiner Ayu Diahastuti

Kita adalah manusia yang membutuhkan tempat untuk bercerita, memvalidasi emosi, meregulasi emosi, butuh untuk dipahami. Tapi, bagaimana caranya kita menjalaninya tanpa positif vibe? (Baca Selengkapnya)

3. Melawan Toxic Positivity dengan "Active Listening"

Ilustrasi mendengarkan secara aktif untuk melawan toxic positivity | Photo by Karolina Grabowska from pexels.com
Ilustrasi mendengarkan secara aktif untuk melawan toxic positivity | Photo by Karolina Grabowska from pexels.com

"Jangan ngeluh mulu deh. Masih mending kamu yang cuma... Yang aku alami lebih parah..." Nah, respon-respon seperti itu termasuk toxic positivity. Positif tapi beracun. Kok bisa ya? Padahal kan sikap positif itu bagus.

Tapi, jika sikap terlalu positif atau positivity yang dilakukan berlebihan akan berubah menjadi toxic positivity yang membahayakan kesehatan mental.

Toxic positivity ialah menolak atau menyangkal emosi negatif yang sedang dirasakan sehingga menjadikannya invalid. Sikap ini sama saja dengan menipu diri sendiri.

Salah satu cara melawannya adalah dengan mendengarkan secara aktif (active listening) agar kita dapat memahami permasalahan dan apa yang sedang ia rasakan saat itu. (Baca selengkapnya) |  (IZM)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun