Saat membaca novel "Cantik Itu Luka" ada beberapa hal menarik. Salah satu yang menarik adalah bentuk sastra surealis yang dilatari sejarah kolonial Hindia Belanda.
"Setelah selesai membaca, saya mengerti mengapa Eka Kurniawan begitu dipandang oleh Dunia. Secara kualitas, konten dan narasi narasi yang disampaikan sangat krusial dan kaya akan riset," tulis Kompasianer Amos Ursia.
Simak juga beberapa rekomendasi buku-buku dari Kompasianer di sini: https://t.co/ew2dIMTuwY
Semoga ini menambah referensi bahan bacaanmu. pic.twitter.com/QkjNyLdDPy--- Kompasiana (@kompasiana) January 29, 2018
Hal tersebut karena dari novel Cantik Itu Luka pemakaian perspektif yang jarang dikaji dalam historiografi Indonesia merupakan hal yang menyegarkan.
Kompasianer Amos Ursia menjelaskan ada 3 bagian perspektif yang menarik.
"Perspektif seorang pelacur golongan Indo, perspektif seorang preman kebal peluru yang akhirnya dikarungi dalam operasi militer pembasmi kriminal, sampai kisah cinta pemuda pribumi dengan gadis Belanda yang berakhir dengan tragis," tulisnya.
Ini bukan hal sederhana, lanjutnya, dalam sejarah kontemporer Indonesia pelacuran dalam konteks kolonial sedang serius dikaji: bagaimana motif para gadis ini melacur dan sejauh apa dampak politisnya? (Baca selengkapnya)
***
Jadi, bagaimana tanggapan Kompasianer atas ucapan Dewi Ayu yang dikutip dari novel Cantik Itu Luka?Â