Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ibu Kita Kartini, Perempuan yang Ingin Merdeka Seutuhnya

21 April 2021   11:56 Diperbarui: 22 April 2021   09:01 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ibu kita Kartini", frasa penggalan lagu ini bukan sekadar terngiang nada-nadanya, tetapi lebih jauh dari itu: Ibu kita Kartini adalah cerminan perjuangan perempuan.

Sebagai bentuk perjuangan itu, perempuan Indonesia mesti bisa menjalankan peran mereka sebagai perempuan seutuhnya, termasuk merdeka atas kesehatan dirinya.

Karena kita tahu, saat ini akses pelayanan kesehatan bagi perempuan juga belum merata, sehingga banyak perempuan khususnya di daerah sulit memperoleh layanan kesehatan yang memadai.

Untuk itulah, paling tidak, perempuan sudah bisa mengenali hak-hak kesehatan pada dalam dirinya.

Kemudian, perempuan juga bebas menentukan pilihan terhadap tubuh mereka, barulah setelah itu bisa menginspirasi perempuan lainnya.

Oleh karena itulah pada kelompok perempuan masih ada beberapa masalah kesehatan yang khas dan menjadi PR dari waktu ke waktu. Sudah siapkah kita?

1. Period Poverty, Sulitnya Akses Produk dan Pengetahuan Menstruasi di Indonesia

Period poverty atau kemiskinan menstruasi adalah kesulitan akses perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan produk kebutuhan menstruasi yang aman dan higenis serta akses pengetahuan mengenai menstruasi.

Penyebabnya terbanyak disebabkan oleh permasalahan ekonomi dan juga stigma masyarakat mengenai menstruasi.

Kompasianer Jeniffer Gracellia menjelaskan, yang dimaksud dengan produk kebutuhan menstruasi bukan hanya pembalut atau tampon, tapi obat pereda nyeri seperti parasetamol atau ibuprofen serta pakaian dalam.

"Period poverty akan lebih parah dirasakan oleh perempuan yang tinggal di daerah konflik atau zona perang, daerah pasca-bencana dan juga perempuan penyandang disabilitas," tulisnya.

Period poverty, lanjutnya, juga bukan hanya mengenai sulitnya akses terhadap produk kebutuhan menstruasi karena permasalahan ekonomi, namun juga akses yang terbatas. (Baca selengkapnya)

2. Perempuan dalam Bayang-bayang dan Stigma Infertilitas

Pertanyaan "kapan nikah?" bagi perempuan lajang mungkin terdengar horor. Apalagi, tulis Kompasianer Luna Septalisa, bagi yang sudah berkepala tiga.

Mungkin bagi mereka yang menanyakan hal seperti itu sekadar basa-basi, tapi budaya kolektif menempatkan masyarakat sebagai "polisi moral" atas hidup orang lain.

Bahkan, lebih jauh bagi Kompasianer Luna Septalisa sudah sampai untuk urusan-urusan yang sebenarnya sudah menyangkut ranah privat.

"Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, siap-siap perempuan akan menerima stigma 'bukan perempuan utuh atau 'bukan perempuan sejati baik dari keluarga sendiri maupun masyarakat," lanjnutnya.

Pandangan ini menjadi problematik ketika kita dihadapkan pada isu infertilitas. (Baca selengkapnya)

3. Paradoks Perkawinan Anak di Bawah Umur Saat Pandemi

Di dalam hukum perdata, perkawinan merupakan salah satu bentuk dari perikatan atau perjanjian. Perjanjian sejatinya dibuat minimal oleh dua orang.

Agar perjanjian tersebut dianggap sah secara hukum, maka harus memenuhi beberapa persyaratan. Salah satunya cakap. Cakap adalah orang-orang yang mampu melakukan perbuatan hukum.

Anak-anak masuk ke dalam kategori tidak cakap. Itu sebabnya, menurut Kompasianer Dani Ramdani dalam syarat perkawinan ada pembatasan umur yang harus dipenuhi guna memenuhi unsur cakap tadi.

Masalah utama yang terjadi saat ini adalah mengapa marak perkawinan dini yaitu karena pergaulan yang menyimpang.

"Celakanya, untuk menyelesaikan masalah remaja tersebut kebanyakan masyarakat lebih memilih dikawinkan," tulis Kompasianer Dani Ramdani. (Baca selengkapnya)

4. Kisahku: Gadis Desa Putus Sekolah, Dinikahkan Dini, tapi Bisa Sukses

"Sebelum mengenal dan patah hati karena cinta (asmara), gadis itu telah patah hati lebih awal akan impian pendidikannya yang sirna," tulis Kompasianer Alfira Azzahra.

Perjalanan hidup Kompasianer Alfira Azzahra tidaklah segampang perempuan pada umumnya: sebagai perempuan desa, ia juga sudah menikah pada usia belasan usia, dan riwayat pendidikan yang pas-pasan.

"Saya gagal dalam pendidikan atau sampai pendidikan standar di masa lalu, saya juga gagal dalam asmara di masa lalu faktor desakan pernikahan dini yang tidak mudah untuk ditolak," tulis Kompasianer Alfira Azzahra, mengisahkan masa lalunya.

Tetapi hal-hal tersebut yang telah terjadi tidak membuatnya patah arang untuk menjemput kebahagiaan, yaitu menjadi pribadi manusia/perempuan yang merdeka. (Baca selengkapnya)

5. Kesehatan Perempuan di Desa Tertinggal, Haruskah Juga Tertinggal?

Memang harus diakui bahwa kesehatan perempuan di kota-kota besar yang memiliki akses pelayanan kesehatan lebih mudah.

Akan berbeda ketika dibandingkan dengan kesehatan perempuan di desa-desa terpencil misalnya.

Namun, ada yang menjadi fokus Kompasianer Inosensius I. Sigaze, jika perempuan di desa-desa tertinggal itu sehat, maka keluarga mereka juga akan sehat.

Sayangnnya, perempuan di desa-desa tertinggal itu minim wawasan tentang kesehatan perempuan.

"Wawasan yang minim bisa memicu secara otomatis kesadaran mereka sendiri untuk merawat diri mereka sebagai perempuan," tulis Kompasianer Inosensius I. Sigaze. (Baca selengkapnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun