Pertanyaan "kapan nikah?" bagi perempuan lajang mungkin terdengar horor. Apalagi, tulis Kompasianer Luna Septalisa, bagi yang sudah berkepala tiga.
Mungkin bagi mereka yang menanyakan hal seperti itu sekadar basa-basi, tapi budaya kolektif menempatkan masyarakat sebagai "polisi moral" atas hidup orang lain.
Bahkan, lebih jauh bagi Kompasianer Luna Septalisa sudah sampai untuk urusan-urusan yang sebenarnya sudah menyangkut ranah privat.
"Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, siap-siap perempuan akan menerima stigma 'bukan perempuan utuh atau 'bukan perempuan sejati baik dari keluarga sendiri maupun masyarakat," lanjnutnya.
Pandangan ini menjadi problematik ketika kita dihadapkan pada isu infertilitas. (Baca selengkapnya)
3. Paradoks Perkawinan Anak di Bawah Umur Saat Pandemi
Di dalam hukum perdata, perkawinan merupakan salah satu bentuk dari perikatan atau perjanjian. Perjanjian sejatinya dibuat minimal oleh dua orang.
Agar perjanjian tersebut dianggap sah secara hukum, maka harus memenuhi beberapa persyaratan. Salah satunya cakap. Cakap adalah orang-orang yang mampu melakukan perbuatan hukum.
Anak-anak masuk ke dalam kategori tidak cakap. Itu sebabnya, menurut Kompasianer Dani Ramdani dalam syarat perkawinan ada pembatasan umur yang harus dipenuhi guna memenuhi unsur cakap tadi.
Masalah utama yang terjadi saat ini adalah mengapa marak perkawinan dini yaitu karena pergaulan yang menyimpang.
"Celakanya, untuk menyelesaikan masalah remaja tersebut kebanyakan masyarakat lebih memilih dikawinkan," tulis Kompasianer Dani Ramdani. (Baca selengkapnya)
4. Kisahku: Gadis Desa Putus Sekolah, Dinikahkan Dini, tapi Bisa Sukses
"Sebelum mengenal dan patah hati karena cinta (asmara), gadis itu telah patah hati lebih awal akan impian pendidikannya yang sirna," tulis Kompasianer Alfira Azzahra.