Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kampus Merdeka dan Segudang Pertanyaan yang Mesti Dijawab!

11 Februari 2021   21:43 Diperbarui: 12 Februari 2021   06:00 17566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kampus Merdeka yang resmi baru saja diluncurkan pada Selasa (9/2/2021) yaitu Kampus Mengajar 2021 dibuat agar para mahasiswa dapat magang mengajar di sana.

Dalam pembukaan tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan supaya mahasiswa bisa mengajar adik-adik Sekolah Dasar (SD) selama 12 minggu di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Apalagi selama pandemi covid-19 ini banyak sekali pelajar yang terdampak dan orangtua yang mengawasi pembelajaran jarak jauh kesulitan.

Oleh karena itu, harapannya bagi mahasiswa dalam program Kampus Merdeka ini bisa lebih mengasah kepemimpinan dan kematangan sosial.

Akan tetapi masih ada yang masalah yang dihadapi, seperti 'employee mindset' dikalangan banyak mahasiwa selama ini.

Berikut 5 konten terpopuler dan menarik tentang dunia pendidikan di Indonesia pada rubrik Edukasi:

1. Mampukah Kampus Merdeka Melawan "Employee Mindset" di Kalangan Mahasiswa?

Kompasianer Yupiter Gulo melihat, dengan beban belajar yang memuat hingga 147 SKS bagi strata-1 dengan durasi paling cepat 4 tahun, program Merdeka Belajar itu tidaklah mudah.

Terlebih, ada masalah yang sesungguhnya tampak: employee mindset di kalangan mahasiswa.

"Menargetkan agar mahasiswa setelah lulus tidak lagi sibuk mencari pekerjaan, tetapi sibuk menciptakan peluang kerja. Bukan sibuk mencari gaji bulanan tetapi concern memberikan gaji kepada karyawan," tulis Kompasianer Yupiter Gulo.

Lantas bagaimana agar ini bisa berjalan beriringan? (Baca selengkapnya)

2. Seberapa Kusamkah Wajah Kampus Kita?

Kompasianer Erkata Yandri menuliskan pertanyaan menarik terkait jurnal: mengapa masalah publikasi di Indonesia selalu menarik untuk dipertanyakan? Mengapa ada sebutan jurnal abal-abal?

Hal tersebut jadi semakin menarik karena ketika masih banyak pernyataan tak terjawab, justru kampus-kampus di Indonesia seperti berlomba dalam melakukan publikasi jurnal-jurnal ilmiah.

Maka, tulis Kompasianer Erkata Yandri mau tidak mau masing-masing kampus harus menggenjot kinerjanya agar terlihat kinclong.

"Ini secara tidak langsung sudah melibatkan kampus masuk ke dalam "liga" tadi. Konsekuensinya adalah 'posisi'," lanjutnya. (Baca selengkapnya)

3. Sudah Kuatkah Mental Anak Menghadapi Bullying di Sekolah?

Memang belum banyak siswa-siswi yang kembali ke sekolah untuk melaksanakan proses belajar-mengajar seperti dulu.

Akan tetapi, yang masih belum bisa diatasi oleh pihak sekolah dan seluruh civitas akademik justru terkait perundungan di sekolah.

Sulitnya jangkauan pantau setiap tindak siswa bisa jadi kendala, misalnya.

"Kondisi-kondisi seperti inilah yang bisa mengganggu kesehatan mental sehingga anak menjadi depresi, marah, ataupun kecewa," tulis Kompasianer Indra Mahardika. (Baca selengkapnya)

4. Perlukah Pendidikan tentang Plagiarisme Dimasukkan ke Dalam Kurikulum?

Awalnya Kompasianer Steven Chaniago menganggap plagiarisme suatu hal yang biasa saja. Akan tetapi, setelah ia aktif menulis dan karyanya dijiplak tanpa pertanggungjawaban sungguh tidak mengenakan.

Karena hal itulah yang kemudian membuka mata agar plagiarisme semakin dikenalkan di Indonesia, paling tidak diaajarkan sejak di sekolah.

"Bahwa semakin cepat kita dikenalkan dengan apa itu plagiarisme dan konsekuensinya, maka semakin kecil kemungkinan kita akan melakukannya dengan sengaja," tulisnya. (Baca selengkapnya)

5. Kegurubesaran di Indonesia

Menjadi Guru Besar (Profesor), tulis Kompasianer Juneman Abraham, itu idaman banyak orang, tidak terkecuali orang-orang yang kita kenal sebagai praktisi, seperti Kak Seto.

"Usia boleh senja. Namun semangat tetap menyala dalam mengejar cita-cita: Guru Besar!," ungkap beliau pada 26 November 2020.

Tapi, tahukah kamu bagaimana seseorang bisa mendapat pengangkatan sebagai Guru Besar atau Profesor?

"Menjadi Profesor memiliki tantangannya sendiri di setiap negara, baik Profesor sebagai sebuah posisi (seperti di sejumlah negara di luar negeri) maupun sebagai sebuah jenjang karir (seperti di Indonesia)," lanjut Kompasianer Juneman Abraham. (Baca selengkapnya) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun