Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dari Eiger Kita Belajar: Tugas dan Peran "PR" Tidak Semudah Itu...

9 Februari 2021   23:10 Diperbarui: 10 Februari 2021   06:30 2850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bekerja dengan riang di kantor. (sumber: pixabay.com/Infoniqa_com)

Setelah viralnya surat keberatan yang dikirimkan oleh pihak Eiger kepada para content creator, akhirnya Bos Eiger Ronny Lukito menyampaikan permohonan maaf secara resmi.

Dalam tayangan YouTube Eiger, Ronny Lukito mengakui, kejadian tersebut sepenuhnya adalah kesalahannya.

Namun, yang menjadi perhatian, yakni saat Ronny terang-terangan sudah pernah diingatkan oleh bawahannya sebelum mengambil langkah mengirimkan Surat Keberatan.

Tidak hanya konten seputar permintaan maaf Bos Eiger itu, masih ada konten menarik dan terpopuler di Kompasiana pada kategori "Gaya Hidup" sebagai berikut:

1. Belajar dari Eiger: Masihkah Organisasi Sepelekan Public Relations?

Jika dilihat dari awal mula kasus Eiger dengan para content creator, pelajaran apa yang bisa kita ambil?

Menurut Kompasianer Husni Fatahillah Siregar yang pernah 15 tahun menjalani tugas dan peran sebagai public relations (PR) atau humas, ada strategi komunikasi organisasi yang baik; bisa ke dalam maupun luar perusahaan.

"Sejatinya PR saat ini harus bertransformasi dan memainkan peranan strategis yang lebih besar, tidak hanya dalam membangun dan memperkuat citra perusahaan tetapi juga citra sebuah produk," tulisnya.

Pada kondisi penting dan genting, misalnya, peran public relations (PR) menunjukkan kapabilitasnya dan meyakinkan. (Baca selengkapnya) 

2. Luddite Fallacy, Takut Mata Pencarian Hilang karena Makin Canggihnya Teknologi

Kompasianer Efrem Siregar melihat akan tiba pada satu masa otomatisasi dan robotik mampu menggantikan pekerjaan manusia.

Cepat atau lambat mesin menggantikan tenaga "manual" manusia yang secara masif. Dari sini, lanjutnya, akan tercipta lapangan kerja baru dalam memenuhi kenaikan permintaan.

Karena itulah bermunculan Luddite Fallacy atau orang-orang yang menolak, cemas terhadap kehadiran teknologi baru karena kekhawatiran bahwa teknologi dapat membuat mereka kehilangan pekerjaan dan menganggur.

Lantas, bagaimana menangani perkembangan AI yang semakin canggih? (Baca selengkapnya)

3. Kiat-Kiat agar Aktivitas Memasak Menjadi Lebih Menyenangkan

Memasak, barangkali, kini jadi hobi baru ketika pandemi covid-19 ini untuk mengisi waktu dan melakan aktivitas selama di rumah.

Kompasianer Martha Weda menyadari betul itu, dari menghabiskan waktu berjam-jam di dapur setiap hari, berkutat dengan bumbu-bumbu, hingga berbagai bahan pangan, rasa jenuh bisa saja muncul.

"Memasak akhirnya tidak lagi dipandang sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan, namun hanya dipandang sebagai sebuah kewajiban," tulis Kompasianer Martha Weda.

Untuk itulah kali ini ada kiat-kiat yang bisa dicoba agar kegiatan memasak itu jadi menyenangkan, bukan sebaliknya. (Baca selengkapnya)

4. Suatu Saat, Akan Ada "Jarak" antara Orangtua dan Anak

Ada yang perlu orangtua sadari, bahwa suatu saat hubungan mereka dengan anak akan berjarak makin jauh.

Kompasianer Zaldy Chan mulai merasakan itu kala kedua anaknya kini sudah beranjak ABG (remaja).

Keberadaan anak dalam rumah tangga itu bukan lagi sekadar "buah cinta", melainkan pengikat keutuhan dalam berumah tangga.

"Interaksi antara orangtua dan anak mulai berjarak. Orangtua musti bersiap, tak lagi berada di 'pusat kekuasaan'," tulis Kompasianer Zaldy Chan. (Baca selengkapnya)

5. Bom Waktu Mutasi Kerja dan Implementasi Prinsip "The Right Man in The Right Place"

Rasanya orang yang terkena mutasi di perusahaanya, barangkali, akan mirip-mirip seperti karyawan baru di perusahaan yang juga baru.

Kompasianer Agil S. Habib menilai, mutasi kerja itu perlu dilakukan banyak pertimbangan sehingga kemungkinan pelaksanaan mutasi itu tidak berakhir dengan kehilangan salah satu aset berharga perusahaan.

"Keputusan mutasi seharusnya dilandasi pertimbangan untuk menciptakan iklim kerja yang lebih produktif daripada sebelumnya," lanjut Kompasianer Agil S. Habib menjelaskan.

Akan tetapi, tidak sedikit perusahaan justru melakukan mutasi kerja pada karyawannya atas dasar menghukum kinerja secara tidak langsung. (Baca selengkapnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun