Bagi yang percaya menjadi jomblo adalah pilihan, itu tidak apa-apa kok. Sama halnya dengan mereka yang percaya diberi perhatian oleh orang yang kita sayang itu betapa senangnya.
Memang ada yang mudah saja membuka hati untuk orang lain, tapi ada saja yang sudah dibuka hatinya namun tidak ada yang menghampiri dan mendatangi.
Tidak mudah memang mendapat cinta sejati itu. Polemik cinta segitiga Si Doel-Sarah-Zaenab saja butuh 27 tahun untuk sekadar selesai. Lah, lalu sudah sejauh mana usahamu menemukan pujaan hatimu itu?
Akan tetapi sangat dapat dimengerti bahwa banyak orang menahan diri demi melindungi diri sendiri agar tidak terluka.
Ini terutama disebabkan oleh rasa takut akan penolakan dan keinginan untuk menghindari patah hati.
Jika mencoba kencan online bukan sesuatu yang aneh untuk menemukan jodoh, kan? Siapa tahu, usaha saja dulu!
1. Kencan Online? Kakak Saya Mengalaminya dan Hidup Bahagia
Kompasianer Meirri Alfianto membuka tulisannya dengan pertanyaan yang menarik: apakah menurut anda menemukan jodoh disebuah aplikasi perjodohan itu tabu?
Siapa yang bisa membayangkan jika ternyata jodoh dipermukan lewat aplikasi perjodohan? Meski bukan terjadi padanya, tapi hal tersebut dialami kakaknya.
Sepengetahuan Kompasianer Meirri Alfianto, kisah percintaan kakaknya itu layaknya roller coaster: dari batal nikah hingga dipertemukan dengan cinta sejatinya.
Dari sebuah situs perjodohan yang sempat populer pada 2015, kakaknya bertemua dengan laki-laki yang usianya terpaut 4 tahun lebih tua.
"Juni 2016, kakak saya resmi menikah diusia 29 tahun. Hari itu hari yang amat membahagiakan bagi kami sekeluarga," tulis Kompasianer Meirri Alfianto.
Tidak perlu bersedih, sebab sebagaimana Kompasianer Meirri Alfianto ingatkan, Tidak selalu orang yang bersama-sama denganmu itu jodohmu. Bisa saja orang yang baru kamu temui hari ini adalah pasanganmu. (Baca selengkapnya)
2. Pameo "Kalau Jodoh, Tak Akan ke Mana" Itu Jalan Menuju Kejomloan yang Abadi
"Kalau memang jodoh tidak akan ke mana". Lalu kita pasrah. Lalu kita tenggelam dalam kesibukan sehari-hari. Malam minggu datang. Undangan pernikahan berdatangan. Jodoh kita ke mana?
Potensi untuk menemukan seseorang yang berniat tidak baik lebih banyak dapat kita temukan di dunia maya dibandingkan di dunia nyata.
Artinya, menurut Kompasianer Fery W, kita harus lebih berhati-hati dalam memilih dan memilah setiap orang yang akan kita masukan ke dalam list "calon pacar".
"Jadi kencan online dalam konotasi positif, bukan kencan online untuk kegiatan esek-esek, itu tak perlu didegradasikan keberadaannya. Justru aplikasi itu sangat membantu," tulis Kompasianer Fery W. (Baca selengkapnya)Â
3. Jodoh Ada di Tangan Tuhan, Jomlo Ada di Mana-mana
Kompasianer Rudy Gunawan menganalogikan jodoh dengan sangat menarik: Menanti datangnya jodoh, sama seperti menunggu malaikat pencabut nyawa datang menjemput. Jika saatnya belum tiba, maka jangan harap status jomlo akan hilang seketika.
Namun, zaman berubah. Jika awalnya mendapatkan jodoh dan melanjutkan hubungan pada pernikahan, kini ada yang mengatakan bahwa kehidupan lajang adalah sebuah keputusan yang jauh lebih sehat dan bahagia.
"Perubahan pandangan terhadap pernikahan juga berpengaruh terhadap kebutuhan seksual. Gaya hidup bebas memilih pasangan tanpa komitmen sudah semakin marak dijalani," tulis Kompasianer Rudy Gunawan.
Nah, aplikasi kencan yang banyak tersedia di dunia maya juga telah menciptakan budaya kencan kilat sebagai pengganti komitmen serius. Tertarik? (Baca selengkapnya)
4. Zona Remang-Remang Aplikasi Kencan Online, dari Penipuan sampai Pelecehan Seksual
Seseorang yang kita kenal lewat aplikasi kencan online, bagi Kompasianer Luna Septalisa, adalah orang yang tidak kita kenal sebelumnya sehingga informasi tentangnya bisa dibilang cukup minim.
Ini terjadi pada temannya ketika berkenalan dengan seorang laki-laki lewat aplikasi kencan online. Singkat cerita, meski sudah diingatkan, pada akhirnya temannya dihamili dan laki-laki tersebut enggan tanggung jawab.
"Anda perlu ekstra hati-hati. Jangan terlalu mudah percaya sampai Anda benar-benar mengetahui latar belakang dan rekam jejaknya," tulis Kompasianer Luna Septalisa, mengingatkan.
Sebab, jika kita lepas kontrol, rayuan bernada seksual tersebut bisa dianggap tidak terjadi pelecehan. (Baca selengkapnya)
5. Kencan Online, Budaya Instan Kaum Urban dan Gejala Alienisasi
Dalam skala yang lebih luas, tulis Kompasianer Wuri Handoko, kita membentuk fenomena budaya baru. Fenomena budaya urban yang meliputi gaya hidup masyarakat urban adalah salah satu fakta perubahan budaya yang dimaksud.
Pencarian jodoh, misalnya. Lingkungan urban yang serba padat, pesat dan cepat menuntut manusianya juga serba cepat.
"Jadi kencan online, yang awalnya dipahami sebagai fenomena perubahan dan kemajuan zaman atau fenomena modernisasi. Sejatinya sudah merubah perilaku manusia, terutama kaum urban," lanjut Kompasianer Wuri Handoko.
Namun yang jadi fokus tulisannya terkait kencan online ini, mereka jadi tidak akan bisa sepenuhnya membaca gesture lawan bicara kita. Ada budaya yang terpotong karenanya, lalu kita menanggap itu biasa saja. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H