Satu hari setelah RUU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan pada Senin (5/10/2020) aksi penolakan terjadi di beberapa kota di Indonesia: 3 hari berturut-turut.
Sebabnya, dalam pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut terbilang cepat. Rapat paripurna hanya berjarak dua hari sejak pengesahan tingkat I pada Sabtu (3/10/2020) lalu.
Akhirnya beragam lapisan masyarakat dari buruh, mahasiswa, pelajar untuk melakukan aksi demonstasi untuk penolakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Diskusi bagi yang pro maupun kontra akan pengesahan RUU ini terus berkembang, termasuk di Kompasiana.
Akan tetapi selain pembahasan pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, masih ada konten menarik lainnya yang tayang pada pekan ini seperti pentingnya literasi dasar bagi anak hingga feng shui yang membawa hoki.
Inilah 5 konten menarik dan terpopuler di Kompasiana dalam sepekan.
1. Bagaimana Seharusnya Pekerja Level Menengah Menyikapi Omnibus Law?
Pasal yang paling banyak mendapat sorotan dari Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini terkait relasi antara karyawan dengan pemilik perusahaan.
Bagaimanapun juga, menurut Kompasianer Agil S. Habib, Undang-Undang tersebut bisa dibilang bersahabat dengan pengusaha dan sebagai golongan manajemen level seharusnya mendukung hal itu.
"Ketika peraturan yang dibuat dinilai merugikan para pekerja, maka termasuk juga manajemen level akan menjadi bagian dari mereka yang dirugikan tersebut," lanjutnya.
Nah, yang menjadi dilema adalah bagaimana sikap para pekerja level menengah mesti bersikap? (Baca selengkapnya)
2. Setelah 150 Tahun, Kita Kembali pada Kebijakan Kolonial 1870
Kritik yang disampaikan Kompasianer Christopher Reinhart cukup keras atas pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini.
Menurutnya dengan adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja mengingatkannya pada penelitian yang pernah ia lakukan tentang kehidupan kuli kontrak di Bangka dan pesisir timur Sumatra pada abad ke-19 dan 20.
"UU Omnibus kali ini bukan saja mengandung semangat ordonansi kuli kolonial, melainkan justru seluruh semangat liberalisasi ekonomi tanah jajahan yang dimulai secara penuh di Hindia Belanda pada tahun 1870," tulisnya.
Secara sederhana, lanjutnya, kegagalan peningkatan taraf hidup rakyat melalui liberalisasi ekonomi Hindia Belanda --yang ingin diulang oleh kita melalui UU Omnibus-- dapat dilihat dari kritik golongan etis pada pergantian abad ke-19 menuju 20. (Baca selengkapnya)
3. Peran Orangtua dan Literasi Dasar yang Harus Dikuasai Anak di Abad 21
Barangkali hal tersulit yang dialami banyak orangtau kali ini adalah bagaimana mesti menyiapkan bahan bacaan hingga mengajari literasi dasar yang mesti anak-anaknya kuasai.
Anak-anak generasi abad 21, sepengamatan Kompasianer Jose Hasibuan itu terlahir dari para orangtua milenial yang mulai melek teknologi di usia remaja akhir atau malah di usia dewasa.
Namun, ada yang keunggulan sekaligus karakteristik para orangtua ketika membimbing anaknya, yakni anak-anak dapat dibimbing dengan sedemikian rupa, maka bukan tidak mungkin kita akan menuai generasi unggul yang akan banyak berbicara dan berbuat dalam masa 20 tahun ke depan.
Akan tetapi untuk menunjang itu literasi apakah yang harus anak miliki dan bagaimana  memfasilitasinya? (Baca selengkapnya)Â
4. Mengenal Empat Kategori Jam Biologis
Dokter Jefry Albari mengingatkan bahwa di antara kita ada tipikal orang yang aktif saat malam hari, namun saat pagi hari terasa lemas dan mengantuk, kan?
Tetapi ada juga yang mengalami sebaliknya, angun saat pagi hari dan langsung bersemangat, sementara saat malam harinya cenderung mudah tertidur.
Ini bisa saja karena jam aktif setiap orang memang berbeda-beda. Klasifikasi jam biologis, tulisnya, setiap orang yang unik ini disebut juga dengan chronotype.
"Pada dasarnya chronotype dibagi menjadi 4 kategori, yakni singa, beruang, lumba-lumba, dan serigala. Setiap kategori memiliki keunikan dan kelebihannya masing-masing," ungkap Dokter Jefry Albari melanjutkan. (Baca selengkapnya)
5. Feng Shui yang Bikin Hoki, Belajar dari Pengalaman Pribadi Merombak Rumah
Pada praktiknya, feng shui biasanya seputar penataan ulang rumah dan furnitur yang selaras dengan kekuatan alam untuk menginduksi getaran positif di dalam rumah.
Pasalnya yang dicari dari dalam feng shui itu ketidakseimbangan bisa membawa energi negatif.
Kompasianer Wuri Handoko menceritakan bagaimana ia mengikuti pesan temannya yang mengatakan kalau aura rumahnya kurang bagus. Menurut pandangan feng shui: rumahnya terkesan panas dan ada aura yang kurang positif.
Sejak saat itu Kompasianer Wuri Handoko coba menaruh akuarium atau unsur air di rumahnya.
"Setiap kali menempati rumah baru, eki rumah kontrakan sekalipun selalu saja saya berusaha meletakkan unsur air di dalam ataupun di luar rumah," tulisnya. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H