Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Setelah 150 Tahun, Kita Kembali pada Kebijakan Kolonial 1870

8 Oktober 2020   21:09 Diperbarui: 12 April 2022   11:09 9386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat hari ini, 8 Oktober 2020, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus di Indonesia turun ke jalan dan menyusul aksi protes yang telah diawali oleh golongan pekerja sejak awal minggu. 

Pergerakan tersebut membawa narasi penolakan terhadap Undang-undang Omnibus Cipta Lapangan Kerja (selanjutnya disebut "UU Omnibus") yang dikerjakan dengan kecepatan kilat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah Indonesia dalam suasana kesenyapan -sebuah fenomena yang ajaib dalam sejarah penyusunan undang-undang di Indonesia. 

Perkara UU Omnibus ini sebenarnya sudah beberapa kali diresahkan dan dimohon pengkajian ulangnya baik oleh mahasiswa, pemerhati hak pekerja, maupun golongan pekerja kepada pemerintah dan DPR. 

Pada saat UU Omnibus masih berupa rancangan, beberapa akademisi dan aktivis hak pekerja pernah mengungkapkan imbasnya yang negatif terhadap golongan pekerja. 

Baca juga: Orbafobia di Balik Demo Omnibus Law

Saya yang pada saat itu -Maret 2020- masih terlibat dalam penelitian tentang kehidupan kuli kontrak di Bangka dan pesisir timur Sumatra pada abad ke-19 dan 20 di bawah Profesor Gregor Benton juga sempat menuliskan sebuah renungan singkat tentang kemiripan RUU Cipta Lapangan Kerja dan Ordonansi Kuli Hindia Belanda -yang secara de jure sudah dihapuskan tahun 1931 (dalam artikel "Sistem Kuli Kolonial yang Dibangkitkan Pemerintah Indonesia"). Namun demikian, tampak nyata bahwa suara-suara tersebut mendarat kepada telinga-telinga yang tuli.

Perkembangan narasi pemerintah sejak Maret 2020 hingga disahkannya UU Omnibus ini secara senyap pada 5 Oktober 2020 rupanya kemudian membawa saya pada suatu ingatan lain, yaitu liberalisasi ekonomi Hindia Belanda. 

Bila pada permulaannya saya terkungkung pada pandangan tentang hak pekerja semata dan bermuara pada ingatan tentang ordonansi kuli, narasi yang dibawa pemerintah belakangan menyadarkan saya pada narasi yang lebih besar. 

UU Omnibus kali ini bukan saja mengandung semangat ordonansi kuli kolonial, melainkan justru seluruh semangat liberalisasi ekonomi tanah jajahan yang dimulai secara penuh di Hindia Belanda pada tahun 1870.

Sepanjang abad ke-19, corak ekonomi kolonial mengalami tiga tahap perubahan, yaitu (i) transisi ekonomi-politik sejak 1816 (atau secara legal sejak 1818) hingga 1830, (ii) periode cultuurstelsel (tanam paksa) sejak 1830 hingga 1870, dan (iii) periode liberalisasi ekonomi sejak 1870 hingga 1901.

Sepanjang masa transisi, pemerintah peralihan di bawah Komisi Jenderal pimpinan Godert van der Capellen (1778-1848; menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, 1816-1826) dan penerusnya, Leonard du Bus de Gisignies (1770-1849; menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, 1826--1830), berusaha meneruskan kebijakan ekonomi-politik model Inggris, lengkap dengan ekonomi uangnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun