Rasa-rasanya intensitas kita yang kini sudah jarang bertemu langsung dengan orang lain acapkali memunculkan perasaan berlebihan. Semisal: overthinking.
Perasaan inilah yang kemudian memikirkan secara berlebihan pilihan yang telah kamu buat. Bahkan, tidak sedikit terbayang-bayang pikiran "bagaimana jika" atas apa yang sudah kamu lakukan.
Melansir Psychology Today, penelitian membuktikan kebiasaan memikirkan kekurangan, kesalahan, dan masalah meningkatkan risiko masalah kesehatan mental.
Selain itu, overthinking juga bisa menguras energi juga membuang waktu. Untuk lebih jelasnya, overthinking justru bukan memikirkan solusi atau pilihan apa yang terbaik melainkan malah membuat kita terjebak dalam pikiran dan ini akan membatasi kita untuk berbuat sesuatu.
Apalagi masalah percintaan. Perasaan untuk gampang jatuh cinta kepada orang lain, tapi tidak mendapat respon baik --juga cepat-- malah membuat kita memikirkan yang tidak-tidak, bukan?
Ingin tahu bagaimana mahasiswa coba mengulas ini dari beragam aspek psikologi, percitaan, hingga kesehatan? Silakan simak 5 konten pilihan kami ini, yha!
1. Sering Overthinking? Ini Trik Menghadapinya!
Semakin lama kamu pikirkan bukannya menemukan solusi, tapi malah bikin kamu tambah stres. Hal seperti itu, menurut Kompasianer Muhamad Fuji, kamu lagi overthinking
"Kamu (bisa) menghabiskan waktu dari pagi sampai sore atau bahkan sampai pagi lagi, entah itu berpikir masa depan atau apa saja," lanjutnya.
Nah, kali ini Kompasianer Muhamad Fuji coba berikan beberapa trik agar kita bisa menyikapi dan menghadapi kala sedang overthinking.
Contohnya, yang pertama, mengubah pikiran yang sedang kita pikirkan.
"Jika kita ingin mengubah pikiran kita, cobalah untuk melakukan hobi atau keterampilan yang jauh dari topik dia ya," tulis Kompasianer Muhamad Fuji. (Baca selengkapnya)
2. Psikosomatis, Merasa Sakit Padahal Hanya Pengaruh Pikiran
"Bila pengaruhnya positif, tubuh kita sehat dan kuat sebaliknya bila pengaruhnya negatif, fungsi tubuh akan terganggu, bahkan kita bisa sakit," lanjutnya.
Pada kondisi seperti itulah yang disebut dengan penyakit psikosomatis. Psikosomatis adalah gangguan yang terjadi pada tubuh yang dipengaruhi oleh pikiran, tetapi saat melakukan pemeriksaan medis tidak ditemukan gangguan atau penyakit apapun.
Kompasianer Elsa Mutiara mencontohkan kondisinya seperti yang ia alami sendiri yakni ketika membaca berita mengenai bencana alam atau gempa.
"Setiap kali membaca berita terkait bencana gempa bumi, saya akan merasa pusing, demam dan kepala berputar-putar seperti vertigo padahal keadaan tubuh saya baik-baik saja," jelasnya. (Baca selengkapnya)
3. Alasan Psikologis Mengapa Manusia Bisa Jatuh Cinta
Jika "cinta" didefinisikan sebagai sebuah aktivitas, bahwa berhubungan dengan rasa ketertarikan dengan lawan jenis, contohnya: pacaran.
Padahal, tulis Kompasianer Cindy Carneta, fenomena yang menyinggung urusan percintaan juga dapat dikaji dalam ilmu psikologi sosial, khususnya pada teori hubungan interpersonal.
Oleh karena ini Kompasianer Cindy Carneta memulainya dengan pertanyaan yang cukup menggelitik: pernahkah kalian berpikir mengapa Anda bisa mencintai pasangan Anda?
Cinta itu tidak perlu alasan? Tidak, sesungguhnya ada 5 alasan mengapa Anda bisa mencintai pasangan Anda berdasarkan perspektif psikologi.
"Individu tertarik dengan individu lain yang memiliki banyak perbedaan dengan dirinya karena ia merasa bahwa individu tersebut memiliki kelebihan yang dapat melengkapi kekurangan yang melekat pada dirinya," tulis Kompasianer Cindy Carneta. (Baca selengkapnya)
4. What is Introvert and Extrovert?
Pemahaman umum mengenai introvert dan ekstrovert yang banyak diketahui masyarakat sebenarnya tidak sesederhana itu.
"Introvert itu pendiam, tertutup, enggan berteman, kurang seru; sedangkan Ekstrovert: santuy, outgoing, banyak bicara, enerjik, banyak teman," lanjut Kompasianer Sayyidah Syafiqoh.
Manusia itu punya sesuatu mekanisme yang disebut dengan sikap jiwa, yaitu orientasi pilihan seseorang dalam mengisi kembali energi ke dalam dirinya.
"Yang mengisi dengan orientasi ke dalam itu Introvert dan yang mengisi dengan orientasi keluar itu Ekstrovert," tulisnya. (Baca selengkapnya)
5. Memahami Diri: antara Persepsi, Ketidaktahuan, dan Kesadaran
"Rasa marah, benci, dendam, merasa selalu benar, takut akan sesuatu, kesemuanya itu berasal dari dalam diri manusia yang harus bisa dipahami," lanjutnya.
Memahami pikiran itu sama halnya dengan memahami diri, caranya bisa tentang persepsi kita.
"Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsikannya. Itulah argumen yang diajukan oleh George Berkeley lebih dari dua ratus tahun silam," tulis Kompasianer Fathul Hamdani.
Sebagaimana konsep, seperti itulah persepesi. Hanya saja itu bukan sebuah kenyataan. Persepsi itu bentuk abstraksi yang dihasilkan oleh pikiran manusia. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H