Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Awas Bahaya Laten Overthinking dan Gampang Jatuh Cinta

5 September 2020   19:06 Diperbarui: 8 Oktober 2020   10:39 1483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Engin Akyurt/Unsplash

Rasa-rasanya intensitas kita yang kini sudah jarang bertemu langsung dengan orang lain acapkali memunculkan perasaan berlebihan. Semisal: overthinking.

Perasaan inilah yang kemudian memikirkan secara berlebihan pilihan yang telah kamu buat. Bahkan, tidak sedikit terbayang-bayang pikiran "bagaimana jika" atas apa yang sudah kamu lakukan.

Melansir Psychology Today, penelitian membuktikan kebiasaan memikirkan kekurangan, kesalahan, dan masalah meningkatkan risiko masalah kesehatan mental.

Selain itu, overthinking juga bisa menguras energi juga membuang waktu. Untuk lebih jelasnya, overthinking justru bukan memikirkan solusi atau pilihan apa yang terbaik melainkan malah membuat kita terjebak dalam pikiran dan ini akan membatasi kita untuk berbuat sesuatu.

Apalagi masalah percintaan. Perasaan untuk gampang jatuh cinta kepada orang lain, tapi tidak mendapat respon baik --juga cepat-- malah membuat kita memikirkan yang tidak-tidak, bukan?

Ingin tahu bagaimana mahasiswa coba mengulas ini dari beragam aspek psikologi, percitaan, hingga kesehatan? Silakan simak 5 konten pilihan kami ini, yha!

1. Sering Overthinking? Ini Trik Menghadapinya!

Sumber ilustrasi: Engin Akyurt/Unsplash
Sumber ilustrasi: Engin Akyurt/Unsplash
Pernah pada satu waktu atau kesempatan tiba-tiba saja kamu memikirkan sesuatu yang tidak ada ujungnya?

Semakin lama kamu pikirkan bukannya menemukan solusi, tapi malah bikin kamu tambah stres. Hal seperti itu, menurut Kompasianer Muhamad Fuji, kamu lagi overthinking

"Kamu (bisa) menghabiskan waktu dari pagi sampai sore atau bahkan sampai pagi lagi, entah itu berpikir masa depan atau apa saja," lanjutnya.

Nah, kali ini Kompasianer Muhamad Fuji coba berikan beberapa trik agar kita bisa menyikapi dan menghadapi kala sedang overthinking.

Contohnya, yang pertama, mengubah pikiran yang sedang kita pikirkan.

"Jika kita ingin mengubah pikiran kita, cobalah untuk melakukan hobi atau keterampilan yang jauh dari topik dia ya," tulis Kompasianer Muhamad Fuji. (Baca selengkapnya)

2. Psikosomatis, Merasa Sakit Padahal Hanya Pengaruh Pikiran

ilustrasi pikiran yang memengaruhi. (sumber: pixabay)
ilustrasi pikiran yang memengaruhi. (sumber: pixabay)
Pengaruh pikiran terhadap tubuh itu, tulis Kompasianer Elsa Mutiara mengutip dari buku The Miracle of Mindbody Medicine menjelaskan, bisa positif maupun negatif.

"Bila pengaruhnya positif, tubuh kita sehat dan kuat sebaliknya bila pengaruhnya negatif, fungsi tubuh akan terganggu, bahkan kita bisa sakit," lanjutnya.

Pada kondisi seperti itulah yang disebut dengan penyakit psikosomatis. Psikosomatis adalah gangguan yang terjadi pada tubuh yang dipengaruhi oleh pikiran, tetapi saat melakukan pemeriksaan medis tidak ditemukan gangguan atau penyakit apapun.

Kompasianer Elsa Mutiara mencontohkan kondisinya seperti yang ia alami sendiri yakni ketika membaca berita mengenai bencana alam atau gempa.

"Setiap kali membaca berita terkait bencana gempa bumi, saya akan merasa pusing, demam dan kepala berputar-putar seperti vertigo padahal keadaan tubuh saya baik-baik saja," jelasnya. (Baca selengkapnya)

3. Alasan Psikologis Mengapa Manusia Bisa Jatuh Cinta

ilustrasi jatuh cinta. (sumber: unsplash.com)
ilustrasi jatuh cinta. (sumber: unsplash.com)
Kira-kira, tanya Kompasianer Cindy Carneta, apa hal yang pertama terpikirkan saat mendengar atau membaca kata "Cinta"?

Jika "cinta" didefinisikan sebagai sebuah aktivitas, bahwa berhubungan dengan rasa ketertarikan dengan lawan jenis, contohnya: pacaran.

Padahal, tulis Kompasianer Cindy Carneta, fenomena yang menyinggung urusan percintaan juga dapat dikaji dalam ilmu psikologi sosial, khususnya pada teori hubungan interpersonal.

Oleh karena ini Kompasianer Cindy Carneta memulainya dengan pertanyaan yang cukup menggelitik: pernahkah kalian berpikir mengapa Anda bisa mencintai pasangan Anda?

Cinta itu tidak perlu alasan? Tidak, sesungguhnya ada 5 alasan mengapa Anda bisa mencintai pasangan Anda berdasarkan perspektif psikologi.

"Individu tertarik dengan individu lain yang memiliki banyak perbedaan dengan dirinya karena ia merasa bahwa individu tersebut memiliki kelebihan yang dapat melengkapi kekurangan yang melekat pada dirinya," tulis Kompasianer Cindy Carneta. (Baca selengkapnya)

4. What is Introvert and Extrovert?

ilustrasi Introvert dan Extrovert. (sumber: pixabay)
ilustrasi Introvert dan Extrovert. (sumber: pixabay)
Setiap orang itu, tulis Kompasianer Sayyidah Syafiqoh, memiliki karakter yang berbeda, ada yang mudah bergaul meskipun dengan orang baru, ada juga yang menutup diri. Introvert dan ekstrovert.

Pemahaman umum mengenai introvert dan ekstrovert yang banyak diketahui masyarakat sebenarnya tidak sesederhana itu.

"Introvert itu pendiam, tertutup, enggan berteman, kurang seru; sedangkan Ekstrovert: santuy, outgoing, banyak bicara, enerjik, banyak teman," lanjut Kompasianer Sayyidah Syafiqoh.

Manusia itu punya sesuatu mekanisme yang disebut dengan sikap jiwa, yaitu orientasi pilihan seseorang dalam mengisi kembali energi ke dalam dirinya.

"Yang mengisi dengan orientasi ke dalam itu Introvert dan yang mengisi dengan orientasi keluar itu Ekstrovert," tulisnya. (Baca selengkapnya)

5. Memahami Diri: antara Persepsi, Ketidaktahuan, dan Kesadaran

Ilustrasi memahami diri. (sumber: pixabay)
Ilustrasi memahami diri. (sumber: pixabay)
Pikiran yang begitu kompleks, bagi Kompasianer Fathul Hamdani, menuntut manusia untuk terus berusaha memahami pikiran itu sendiri. Hal tersebut adalah anugerah; kemampuan manusia dalam berpikir.

"Rasa marah, benci, dendam, merasa selalu benar, takut akan sesuatu, kesemuanya itu berasal dari dalam diri manusia yang harus bisa dipahami," lanjutnya.

Memahami pikiran itu sama halnya dengan memahami diri, caranya bisa tentang persepsi kita.

"Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana kita mempersepsikannya. Itulah argumen yang diajukan oleh George Berkeley lebih dari dua ratus tahun silam," tulis Kompasianer Fathul Hamdani.

Sebagaimana konsep, seperti itulah persepesi. Hanya saja itu bukan sebuah kenyataan. Persepsi itu bentuk abstraksi yang dihasilkan oleh pikiran manusia. (Baca selengkapnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun