Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bagaimana Sikap Mahasiswa atas Catcalling, Feminisme, hingga Standar Kecantikan?

26 Agustus 2020   19:19 Diperbarui: 28 Agustus 2020   08:48 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dampak buruk membandingkan anak dengan orang lain. (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Ilustrasi persatuan diantara perbedaan yang ada. (dok: geneticliteracyproject.org)
Ilustrasi persatuan diantara perbedaan yang ada. (dok: geneticliteracyproject.org)
Hingga hari ini Amerika Serikat dihadapkan pada sebuah gejolak unjuk rasa dan kerusuan rasial.

Rasisme, tulis Kompasianer Cindy Carneta, dibangun di sekitar stereotip, asumsi, dan pandangan berprasangka. Namun, nyatanya rasisme bukan hanya sekadar mengenai sudut pandang berprasangka.

Lebih jelasnya, rasisme dan juga xenophobia bukanlah berakar dari faktor genetik atau evolusi.

Tindakan rasis merupakan hasil dari sifat psikologis yang lebih khusus, mekanisme pertahanan psikologis yang dipicu oleh perasaan tidak aman dan cemas dalam individu yang melaukan aksi rasisme.

"Rasisme mengganggu kemampuan kita untuk melihat orang sebagai individu, dan mengurangi kemampuan orang untuk mencapai potensi mereka," tulis Kompasianer Cindy Carneta. (Baca selengkapnya)

5. Menggugat Ketundukan Mutlak pada Orangtua

Ilustrasi dampak buruk membandingkan anak dengan orang lain. (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)
Ilustrasi dampak buruk membandingkan anak dengan orang lain. (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)
Sudah menjadi tontonan umum sebuah tayangan serial di televisi menggambarkan anak yang durhaka pada orang tua.

Muda, binal, hingga lupa berterimakasih, tulis Kompasianer Melathi Cantika, hampir selalu melekat pada karakter anak.

"Dari beragam tayangan, semestinya bukan hal aneh bila sanggahan atas omongan orang tua tidak lantas menjadikan anak itu menjadi tokoh antagonis dan si orang tua menjadi protagonis," lanjutnya.

Perasaan seperti itu tidak lahir begitu saja. Paling tidak, tulisnya, bisa bermula dari budaya membanding-bandingkan anaknya dengan anak tetangga, misalnya. (Baca selengkapnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun