Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, menjelaskan jika tugas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam mengurus ideologi negara bukanlah pekerjaan yang mudah, dan maka dari itu tidak cukup dikerjakan oleh suatu lembaga yang berstatus hanya badan yang beralaskan hukum Perpres.
Ia berpendapat, bahwa perlu ada satu alas hukum yang lebih kuat, dan salah satu yang paling memungkinkan adalah dalam undang-undang.
"Salah satu tugas dari undang-undang ini adalah, membicarakan tentang bagaimana pola pendekatan yang sesuai dengan zaman sekarang, lembaga harus mencari metodologi baru supaya Pancasila kembali dikenal, dianggap sebuah kebenaran yang rasional, dihayati, dan diamalkan," ujar Ahmad Doli.
Ia juga menjelaskan mengenai dua tantangan terberat yang dihadapi Pancasila sebagai ideologi. Pertama, ketika Pancasila sudah tidak lagi jadi perbincangan atau wacana dalam publik, dan yang kedua, ideologi negara harus menjadi ideologi yang hidup di tengah masyarakat.
Ahmad Doli mengatakan bahwa, ketika suatu bangsa tidak lagi menempatkan ideologi negara atau falsafah bangsa sebagai panduan dalam kehidupan sehari-hari, maka itu akan menjadi masalah terbesar.
"Misalnya di satu negara, ideologi tidak lagi menjadi salah satu arus utama pembicaraan, dan sifat hidup bermasyarakat di dunia global sangat terbuka, maka tantangan-tantangan ideologi lainnya akan mudah masuk," tegasnya.
Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara, Bayu Dwi Anggono mengutip Dokumen Ketatanegaraan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, bahwa ada beberapa tantangan terkait ideologi Pancasila.
Yang pertama adalah melemahnya ideologi Pancasila akibat serbuan ideologi transnasional, kemudian belum kukuhnya moderasi beragama untuk memperkuat toleransi dan kerukunan, dan terakhir politisasi dan politik identitas dalam gelaran Pemilu.
Bayu mengatakan bahwa ada banyak masalah yang menghadang ideologi Pancasila, termasuk salah satunya adalah melemahnya ideologi Pancasila dalam berbagai survei, di mana dari waktu ke waktu, keinginan publik yang ingin mengganti Pancasila angkanya terus mengalami peningkatan.
"Saya ambil contoh survei CSIS tahun 2017, menunjukkan bahwa 9,5% milenial setuju untuk ideologi Pancasila diganti dengan ideologi lain, begitu juga survei Alvara Research menyebutkan sebanyak 16,8% mahasiswa memilih ideologi selain Pancasila," tegasnya.
Ia berpendapat bahwa, perlu adanya perangkat ketatanegaraan untuk menghadapi tantangan yang dihadapi ideologi Pancasila. Baik itu melaui DPR atau Presiden, karena mereka yang memiliki kekuatan legislatif untuk menjawab tantangan tersebut.
Ahmad Doli menambahkan bahwa sekarang ini tingkat pengenalan Pancasila sudah menjadi masalah, mengacu pada hasil survei yang disampaikan oleh Bayu.
Ia juga mengaku jika dirinya adalah salah satu orang yang mengendorse supaya ada undang-undang yang membicarakan tentang pengarusutamaan, membumikan, atau pembinaan tentang nilai Pancasila.
"Catatannya, undang-undang ini bukan berisi tentang penafsiran tentang Pancasila, karena Pancasila sebagai sebuah sistem nilai yang sudah final," tegasnya.
Bayu mengemukakan bahwa, adalah kewajiban pemerintah negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk dari serbuan ideologi transnasional.
Menurutnya, Pancasila adalah ideologi yang paling sesuai dengan bangsa Indonesia. Karena dari aspek ideologi komunisme, lebih baik Pancasila karena punya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, lalu dari konteks ideologi kapitalisme liberalisme, Pancasila punya sila Keadilan Sosial, dan dalam konteks ideologi khilafahisme, Pancasila lebih sesuai karena punya sila Persatuan Indonesia.
"Masalahnya adalah bagaimana generasi yang ada saat ini mengetahui bahwa Pancasila adalah nilai yang paling sesuai," tegasnya. (LKE)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H