Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

[Populer dalam Sepekan] Tantangan RUU Cipta Kerja, Skullbreaker Challenge, hingga Sejarah Trem di Surabaya

23 Februari 2020   22:22 Diperbarui: 24 Februari 2020   12:23 4132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah buruh mengikuti aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law di Depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (30/1/2020). Aksi tersebut menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sebab isinya dinilai akan merugikan kepentingan kaum buruh dengan mudahnya buruh di PHK serta pemberlakuan upah hanya bedasarkan jam kerja. (Sumber: ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/pd).

Dalam perumusan perundang-undangan sapu jagat atau omnibus law cipta kerja terus menjadi sorotan publik --khususnya para buruh. Dalam draft yang sudah disusun bukan hanya belum sepenuhnya mengakomodir suara buruh, melainkan merugikan.

Sebagai contoh, dalam draf RUU Cipta Kerja penghitungan upah berdasarkan satuan satuan kerja dan satuan waktu.

Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU Ketenagakerjaan, upah dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak.

Meski belum final, saat ini pemerintah berupaya mengomunikasikan dengan baik isi RUU Cipta Kerja kepada seluruh pekerja.

Selain polemik draft RUU Cipta Kerja, masih ada artikel-artikel menarik lainnya di Kompasiana seperti mengenal Orudia, tempat musyawarah suku bangsa Yokari, Jayapura hingga sejarah trem di Kota Surabaya.

Berikut 5 artikel menarik dan terpopuler di Kompasiana dalam sepekan:

1. Tantangan RUU Cipta Kerja

Sepertinya, menurut Kompasianer Idham Indraputra, bermaksud mengadopsi omnibus law sebagai salah satu jalan keluar dari banyaknya peraturan yang menghambat masuknya investasi.

Jadi, dengan segala polemik dan pertentangan yang terjadi belakangan ini adalah suatu kewajaran. Sebab, aliran hukum Indonesia menganut eropa kontinental berbeda dengan pola yang diterapkan di Amerika Serikat lewat common law.

Penyerahan rancangan regulasi, lanjutnya, tentu telah menandai bergulirnya dialetika dalam merumuskan manfaat dan kebaikan omnibus law menjadi undang-undang, mengingat rancangan regulasinya mengatur dan mencakup berbagai jenis materi muatan yang berbeda-beda.

"Adapun tantangan yang harus dihadapi dalam menyikapi usulan perubahan modernisasi hukum, khususnya perubahan hukum ketenagakerjaan dalam kaitannya dengan kemudahan berusaha dan berinventasi," tulis Kompasianer Idham Indraputra. (Baca selengkapnya)

2. Salah Tik dan Akuntabilitas Pejabat Publik

Ketika sedang berpolemik tentang isi draft RUU Cipta Kerja, ada yang tidak kalah penting: ada salah ketik dalam dalam draf Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang diajukan persetujuannya ke DPR.

Terlepas dari perdebatan perihal substansi RUU dan surat resmi, menurut Kompasianer Budi Susilo, yang notabene merupakan produk hukum dari sebuah instansi pemerintah, kita perlu dipertanyakan mengenai kualitas pejabat publik.

Lagipula kekeliruan ketik dalam naskah resmi juga pernah terjadi dalam draf Revisi UU nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut baru diketahui setelah pengesahannya oleh Sidang Paripurna DPR tanggal 17 September 2019.

Sebab, untuk keluarnya satu surat saja, diperlukan penelitian dan pemeriksaan berjenjang oleh orang-orang yang kapabel dalam tugasnya.

"Jika birokrasi yang rumit itu telah ditempuh sedemikian rupa, maka mustahil sebuah naskah atau surat resmi bisa salah ketik," tulis Kompasianer Budi Susilo. (Baca selengkapnya)

3. Tolong, "Skullbreaker Challenge" Jangan Sampai Masuk ke Indonesia!

Tidak selama yang sedang tren itu menghasilkan sesuatu yang positif. Kali ini, di Indonesia, dihebohkan dengan Skullbreaker Challenge.

Dari video yang beredar, Skullbreaker Challenge itu seperti tantangan untuk bisa melompat di antara hadangan kaki dengan cara menendangnya.

Terlihat ada tiga orang berbaris sejajar, orang yang di tengah diperintah melompat, dan kedua teman di sampingnya akan menjegal/menendang kaki orang yang melompat.

"Kehadiran tren Skullbreaker Challenge yang viral dari aplikasi TikTok ini mesti jadi peringatan dini kepada seluruh sekolah, orangtua, serta masyarakat di Indonesia," tegas Kompasianer Ozy V. Alandika. (Baca selengkapnya)

4. Mengenal "Orudia", Wadah Musyawarah Suku Bangsa Yokari, Kabupaten Jayapura

Ada yang sudah tahu budaya orudia? Itu merupakan suatu bentuk materi budaya warisan leluhur yang oleh masyarakat suku bangsa Yokari, Kabupaten Jayapura masih tetap dipertahankan keberadaannya.

Orudia (batu lingkar adat) adalah sejumlah bongkahan batu yang ditata membentuk sebuah lingkaran di bagian tengahnya terdapat perapian.

Berdasarkan kunjungan yang dilakukan Kompasianer Erlin Novitaidje, orudia merupakan tempat duduk di mana masyarakat suku bangsa Yokari melakukan pertemuan atau sebagai wadah musyawarah guna membahas masalah-masalah adat mencakup berbagai aspek kehidupan. (Baca selengkapnya)

5. Surabaya Pernah Dikelilingi 49,4 Km Rel Trem, Kini Tak Tersisa

Sistem transportasi publik Surabaya sebenarnya sudah dirancang ideal lebih dari seabad silam. Ketika penduduk kota tersebut masih kisaran 150.000 jiwa, pada awal abad 19 sudah diitari rel trem sepanjang 32 kilometer.

Rel menjulur ke sana ke mari langsung menyusuri depan pintu-pintu gudang di sepanjang Sungai Kalimas, tembus di loading dock pabrik-pabrik kawasan Industri Ngagel, hingga kilang minyak besar di kawasan Jagir, Wonokromo.

Di depan tiga stasiun kereta api antarkota di Surabaya selalu dilengkapi halte trem. yaitu Stasiun Pasar Turi, Stasiun Gubeng, dan Stasiun Surabaya Kota.

"Panjang rel trem terus bertambah hingga 49,4 kilometer pada 1924, hingga tembus Krian, Sidoarjo. Sayang, sekarang tidak ada satupun yang tersisa," tulis Kompasianer Kuncarsono Prasetyo. (Baca selengkapnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun