Buzzer politik kini tengah menjadi sorotan publik. Narasi yang kemudian berkembang, sayangnya, membuat aktivitas buzzing lain mendapat label buruk.
Karena, seperti yang kita tahu, bahwa apa yang mereka utaran --baik itu lewat media sosial atau tidak-- dapat memegaruhi opini publik terhadap suatu hal.
Informasi yang dibentukn oleh buzzer bisa beragam, seperti mengedukasi, meningkatnya awareness, dan membangun diskusi. Intinya, kehadiran dan aktivitas buzzing ini sesungguhnya memberi nilai positif.
Akan tetapi, bagaimana jika itu dilakukan oleh dan untuk kegiatan politik? Apa yang dirugikan jika terus dibiarkan dan dilanjutkan?
Selain ramai akan perbincangan buzzer, pada pekan ini Kompasiana juga banyak yang membahas soal peyerangan yang dialami Ninoy Karundeng, tren es kopi susu kekinian hingga catatan laga Derby d'Italia akhir pekan kemarin.
Berikut 5 artikel terpopuler di Kompasiana dalam sepekan:
1. Buzzer Bersatu, Tak Bisa Disalahkan!
Istilah buzzer atau pendengung politik memiliki peran penting. Aktivitas mereka dapat membuat, bahkan mengubah lanskap percakapan digital.
Pada praktiknya, menurut Kompasianer Yudhi Hertanto bahkan membuat ruang maya disesaki berbagai kepentingan, termasuk untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Dan yang perlu juga diperhatikan adalah bisa dengan menarasikan sebuah informasi yang kurang lengkap.
"Disinformasi yang merupakan tindakan sadar dengan sengaja kemudian ditangkap secara emosional dan dipercayai, menciptakan misinformasi," tulis Kompasianer Yudhi Hertanto.
Nah, ruang digital dengan segala keberlimpahan informasi dapat menghadirkan efek echo chamber bagi penggunanya untuk bisa mendapat informasi secara utuh. (Baca selengkapnya)
2. Bicara HAM Jangan Pilih-pilih, Ninoy Juga Manusia
Pegiat media sosial yang juga relawan Joko Widodo saat pilpres, Ninoy Karundeng, mengalami penganiayaan ketika terjadi unjuk rasa di Jakarta pada Senin, 30 September 2019.
Menurut Kompasianer Ajinatha, tidak sedikit pun suara aktivis HAM yang memberi perhatian terhadap kasus ini.
"Bicara Hak Asasi Manusia (HAM), adalah bicara tentang Kemanusiaan, bicara tentang kemanusiaan, adalah membicarakan sebuah persoalan tanpa sekat SARA, maupun strata sosial," tulis Kompasianer Ajinatha.
Lebih lanjut, titik fokus para penggiat HAM bukanlah cuma terhadap rezim berkuasa. Siapapun yang melanggar kemanusiaan, tegasnya, harus tetap menjadi perhatian dan harus digugat. (Baca selengkapnya)
3. Beginilah Proses Pernyortiran Pakaian Bekas di Korea
Fesyen menjadi satu di antara banyak faktor yang dipengaruhi oleh meledaknya budaya K-Pop.
Efeknya, tidak jarang sebagai penikmat karya-karya asal negeri gingseng tersebut bahkan rela membeli pakaian bekas yang langsung diimpor dari sana.
Sedangkan di Korea Selatan sendiri, ternyata banyak tersedianya box uilyu sugeoham yang berfungsi menampung pakaian-pakaian bekas.
"Selanjutnya pakaian dan sepatu bekas tersebut akan dibawa ke pengolahan, yaitu berupa gudang yang modern," tulis Kompasianer Syasya.
Barulah di gudag tersebut, lanjutnya, dicek mana pakaian yang bagus dan layak pakai. (Baca selengkapnya)
4. Daripada Kopi Susu, Sekalian Saja Minum Kopi Asin
Ternyata tren dan fenomena es kopi susu kekinian ini cukup pesat. Perkembagannya cukup pesat, baik penikmat dan orang-orang yang mulai berbisnis di industri ini.
Tapi, sayangnya tren tesebut justru menimbulkan diskriminasi sosial.
Dalam pandangan pecinta kopi murni, tulis Kompasianer Himam Miladi, kopi yang dicampur dengan segala macam rasa sampingan menempati kasta terendah. Bisa berupa kopi susu, kopi durian, atau kopi instan.
Ketika terjadi bias antara penikmat kopi es kopi susu ini dengan pecinta kopi, ternyata masih ada yang lain, yakni mencampur kopi dengan garam.
"Alton Brown, seorang ahli kopi, merekomendasikan praktik menambahkan garam dalam secangkir kopi yang sedang diseduh," lanjut Kompasianer Himam Miladi. (Baca selengkapnya)
5. Yang Tercatat dan "Kode Keras" dari Derby d'Italia
Meski tidak menang dengan skor telak, tetapi kemenangan Juventus atas Inter Milan menunjukan satu hal: mereka selalu dominan ketika bertadang ke kota Milan.
Dari pandangan mata, tulis Kompasianer S. Aji, kita bisa melihat jika Pjanic-Matuidi-Khedira dan Bernardeschi sebagai penyerang lubang bekerja lebih impresif.
Pada pertandingan itu Sarri membuktikan bahwa Juventus memiliki konsep bermain yang indah.
"Aliran bola yang luwes dan cepat dalam kombinasi umpan lambung bekerja dengan baik. Filosofi Sarriball yang diharapkan perlahan-lahan telah membentuk identitasnya," lanjut Kompasianer S. Aji. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H