Mahasiswa kembali turun ke jalan. Ini merupakan aksi mahasiswa dari berbagai universitas di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa yang menolak sejumlah RUU pada Selasa (24/9/2019) di depan gedung parlemen.
Ada 7 tuntutan yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Indonesia dari mahasiswa di antara mendesak adanya pembahasa ulang pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP hingga menghentikan penangkapan aktivis.
Tidak hanya itu, di hari lainnya elemen pelajar juga turut serta dalam aksi tersebut pada Rabu (25/09/2019).
Para pelajar ini sebagian menggunakan seragam OSIS dan pramuka juga tampak menyanyikan yel-yel, menaiki pagar, sampai memblokade Tol dalam kota ke arah Slipi, Jakarta Barat.
Selain besarnya gelombang aksi mahasiswa yang turun ke jalan, masih ada topik menarik lainnya seperti menilai kinerja DPR pada periode 2014-2019 hingga sebuah harmonisasi yang didapat dari filosofi gamelan.
Berikut 5 artikel terpopuler di Kompasiana dalam sepekan:
1. Aksi Mahasiswa (Akan) Semakin Meluas
Sejarah berulang. Kira-kira seperti itu yang bisa digambarkan oleh Kompasianer Chazali Situmorang beberapa hari ini.
"Sidang-sidang di DPR, saling berpacu dan kejar-kejaran dengan demonstrasi mahasiswa di DPR sampai malam hari, dan berlanjut esok harinya seolah tidak kenal lelah," lanjut Kompasianer Chazali Situmorang.
Sikap mahasiswa kepada DPR semakin jelas ketika perwakilan mereka dipertemukan di dalam gedung setelah seharian melakukan aksi, yakni Mosi Tidak Percaya.
Mudah-mudahan hal tersebut menunjukkan kondisi yang kondusif. Demonstrasi berjalan dengan tenang. (Baca selengkapnya)
2. Yang Muda yang Unjuk Suara
Ada hal yang unik dan lucu muncul di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR sejak Senin (23/9/2019) hingga Selasa (24/9/2019).
Alih-alih memuat tulisan yang mengencam pada poster-poster yang digunakan, beberapa mahasiswa terlihat memegang spanduk dan poster-poster dengan tulisan bernada humor untuk menyuarakan aspirasinya.
"Tapi kalau mereka tidak turun ke jalan, berlatih menyuarakan aspirasi masyarakat, dan akhirnya tercebur ke politik, mungkin selamanya tidak akan belajar betapa penting nilai politik dan kebijakan publik dalam kehidupan kita," tulis Kompasianer Hariadhi.
Nah, yang menarik dari seruan lewat poster-poster tersebut membuat pesan protes dikemas dalam bentuk humor supaya viral. (Baca selengkapnya)
3. Walau Berkinerja Buruk, Anggota DPR Menerima Pensiun Seumur Hidup
Kini perhatian publik kepada kinerja DPR-RI dan anggotanya makin meningkat. Apalagi, menurut Kompasianer Leya Cattleya, Â khususnya terkait kinerja dalam menjalankan peran legislasi.
Pada tahun 2016 saja misalnya, dari target program legislasi nasional (prolegnas) jangka menengah periode 2014-2019 sebanyak 183 rancangan RUU, DPR-RI hanya menyelesaikan 14 RUU (di luar RUU kumulatif terbuka).
"Secara rata-rata, pencapaian tertinggi DPR hanya 10 RUU dalam setahun. Kinerja legislasi DPR juga diperburuk dengan tradisi DPR memperpanjang proses pembahasan RUU," tulis Kompasianer Leya Cattleya.
Namun, ada yang mengejutkan ketika melihat itu semua adalah menerima uang pensiun walau hanya pernah satu kali menjabat. (Baca selengkapnya)
4. Ingatlah Hal Ini Saat Mulai Tak Semangat Kerja
Mungkin bagi sebagian orang berpendapat bahwa naik jabatan bukanlah hal yang utama, melainkan justru imbalan yang diterima (gaji, tunjangan, cuti dan lainnya) diharapkan terus meningkat.
Namun, menurut Kompasianer Irmina Gultom, ketika tuntutan dan tekanan pekerjaan terus meningkat maka pada suatu titik semangat kita untuk bekerja akan menurun atau bahkan hilang.
"Saat kita mengalami atau menjalani sesuatu yang tidak menyenangkan, saya akui kita cenderung sulit untuk berpikir positif. Dan salah satu sikap positif itu misalnya bersyukur dalam setiap kondisi yang sedang dialami," tulis Kompasianer Irmina Gultom.
Lantas, bagaimana mesti menyikapinya? (Baca selengkapnya)
5. Temukan Kembali Hidup Harmonis lewat Filosofi Gamelan
Hidup adalah pembelajaran. Belajar tentang bagaimana kita mengisi kesempatan demi kesempatan yang coba dihadirkan alam dan lingkungan dalam keseharian kita.
Masyarakat hari ini, dalam pandangan Kompasianer Ayu Diahastuti, seakan terhegemoni menjadi beberapa kelompok sosial.
"Melihat hegemoni massa tersebut, saya malah teringat pada sebuah tatanan musik tradisional Jawa. Sekumpulan instrumen atau alat musik Jawa yang banyak kita kenal sebaga gamelan," lanjutnya.
Seiring dengan keinginan para penikmatnya, maka terbentuk suatu harmonisasi suara sebagai pemenuhan kebutuhan akan instrumen pengiring Gending Jawa, maka diciptakanlah sekumpulan instrumen gamelan. (Baca selengkapnya)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H