Berbeda dengan Kompasianer Wiwien Wintarto, justru Kompasianer Himam Miladi setuju saja dengan langkah KPI mengawasi konten-konten digital tersebut.
Sikap tersebut didapat lantaran kebiasaan Kompasianer Himam Miladi mengecek gawai yang digunakan putrinya.
"Sebagai orangtua di era digital, terus terang saya lebih mengkhawatirkan dampak konten digital daripada tayangan televisi," tulisnya.
Bila tidak suka dengan tayangan televisi, lanjutnya, kita bisa mengganti saluran atau mematikannya sekalian. (Baca selengkapnya)
3. Dosa Besar Pendidikan
Dalam esainya, Kompasianer Achmad Saifullah Syahid menggugat bagaimana pendidikan di Indonesia seperti jala di tempat.
Menurutya, kita tidak lantas merasa puas atas tingginya minat baca.
"Tantangan di depan masih menghadang, lebih dari 55 persen murid Indonesia yang menamatkan sekolah hingga tingkat sekolah menengah pertama (SMP) mengalami buta huruf fungsional," tulis Kompasianer Achmad Saifullah.
Apalagi jika ditelaah lebih jauh, kegiatan siswa di sekolah diajarkan mata pelajaran, namun tidak dilatih menalar.
"Mata pelajaran Matematika misalnya, dipelajari untuk sekadar bisa menyelesaikan soal berhitung," lanjutnya. (Baca selengkapnya)
4. Namaku Plastik, Ini Kisah Kecilku
Begitu getir narasi yang dituliskan Kompasianer Ang Tek Khun mengenai plastik. Kita dibawa dari bagaimana plastik tersebut dibuat hingga akhirnya dibuang begitu saja.
"Setiap tahun, dalam rupa kantong plastik, aku digunakan tidak kurang dari 5 triliun banyaknya. Aku yang berwujud botol plastik, dibeli orang 1 juta banyaknya dalam 1 menit. Jumlahnya menakjubkan? Aku juga kaget loh!" tulisnya.