Artis ternama VA diciduk Kepolisian Daerah Jawa Timur atas kasus prostitusi daring di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (05/01/2019) siang. Kurang dua pekan kemudian artis 27 tahun itu ditetapkan sebagai tersangka.
Status hukum yang diterima VA ini bukan karena ia menjadi pelaku prostitusi daring, melainkan dirinya terbukti menjual dirinya sendiri dengan menunggah dan menyebarkan gambar dan video vulgar kepada mucikari.
Fakta tersebut diketahui usai pihak kepolisian melakukan pemeriksaan digital forensik dari ponsel milik VA serta meminta pendapat ahli pidana, bahasa, ahli ITE, dan ahli agama sebelum menetapkan sebagai tersangka.
"VA dijerat Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Ancaman hukumannya maksimal 6 tahun penjara," kata Luki, dikutip dari Kompas.com.
Diungkapkan Luki, rupanya VA berkali-kali bersedia melayani para pelanggannya sejak 2017. Dari 15 transaksi yang terjadi, sembilan di antaranya melibatkan langsung aktris FTV itu.
"Masing-masing dua transaksi untuk layanan di Singapura, enam di Jakarta, dan satu di Surabaya," ujarnya, dikutip dari Antara.
Kendati begitu, kasus prostitusi daring ini sebetulnya memunculkan pertanyaan lain. Dan sebenarnya, pertanyaan yang sama selalu muncul setiap kali prostitusi menyeruak: Identitas kaum perempuan yang--terlalu--gamblang.
Kasus ini sekaligus menegaskan, bahwa identitas perempuan lebih banyak disorot dan bahkan terkesan ada pengeksploitasian identitas.
Sementara hal serupa tidak terjadi pada pengguna jasa, pelanggan, dan mucikari. Sering kali mereka hanya dimunculkan dengan inisial. Bahkan, pejabat dan pengusaha yang dikabarkan turut sebagai pengguna jasa prostitusi daring ini tak pernah muncul namanya.
Tak hayal, Komnas Perempuan pun menentang. Komisioner Komnas Perempuan Adrianna Venny menilai pihak kepolisian telah bertindak tidak adil terhadap kasus VA lantaran telah membuka identitasnya. Sebaliknya, pengguna jasa dilepaskan dengan dalih tak ada pasal yang menjerat.
"Itu juga salah  satunya enggak fair seperti itu. Sementara, kalau dia perempuan kemudian diekspos habis-habisan, namanya, profesinya, keluarganya, tetapi kalau si penggunanya tidak, alasannya enggak ada pasal," kata Vennya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (08/01/2019), dikutip dari Kompas.com.
Tidak adanya pemberitaan identitas lengkap pengguna jasa, menurut Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman Tyas Retno Wulan, mengutip Antara, lebih dikarenakan laki-laki dianggap wajar ketika berperilaku seks di luar batas wajar. Berbeda dengan perempuan yang sudah distandarkan oleh masyarakat.
"Ini yang membuat pelanggan laki-laki kurang diekspos karena dianggap wajar saja bila berperilaku demikian. Itulah nilai ketidakadilan terhadap perempuan," katanya.
Di sisi lain, media arus utama pun turut berperan dalam hal ini. VA tak ubahnya sebagai sebuah komoditas informasi. Pemberitaan massal dan sensasional secara laten terdapat "nilai tukar" ekonomi. Rating and share dan page views di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H