Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Antara Bahasa dan Kasus Meiliana

24 Agustus 2018   20:56 Diperbarui: 10 April 2019   10:46 4041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Tama66/Pixabay

"Kak tolong bilang sama uwa kitu, kecilkan suara mesjid itu kak. Sakit kupingku, ribut."

Kata-kata Meiliana, kepada saksi Kasini alias Kak Uo, Juli 2016. Diambil dari Surat Dakwaan Nomor Register Perkara: PDM-05/TBALAI/05/2018 Tertanggal 30 Mei. Dibuat oleh Para Penuntut Umum.

Dusta mengandung asumsi bahwa ada makna yang dipalsu. Setidaknya itulah  yang ditulis oleh Goenawan Mohamad. Dan bahasa, ketika dilisankan, tidak melulu keluar dari apa yang dipikirkan si pengucap; yang juga berarti tidak menyentuh hati orang yang diajak bicara.

Bahasa kerap kali kita pertentangkan atau persoalkan ketika kita kesulitan menaksir makna tersiratnya. Apakah itu sesuatu yang tulus atau sekadar basa-basi sahaja. Dan manusia adalah korbannya, terjebak dalam bahasa yang kadung tertafsirmenjadi ragam makna.

Sedikit melihat kembali apa yang terjadi kepada Meiliana pada Juli 2016 silam. Ketika itu ia menyampaikan keluhannya mengenai suara dari masjid di dekat kediamannya yang terlalu lantang. Oleh tetangganya, keluhan Meiliana itu diteruskan ke beberapa orang, hingga sampailah ke pihak masjid.

"Her, orang Cina muka itu minta kecilkan volume masjid," ucap tetangga Meiliana. Kemudian inilah merupakan titik persimpangan bahasa tersebut. Terminologi "orang Cina" sudah digunakan oleh orang kesekian untuk menyampaikan sebuah pesan kepada pihak masjid.

Dalam kasus ini, mungkin itulah yang dimaksud Goenawan Mohamad dalam Caping "Kata-kata... (2)" dengan pesan yang kehilangan konteks antara pengucap dan pendengar. Pesan yang diteruskan tidak lagi sama dan bermuatan persepsi pribadi. Bahkan selang dua tahun kemudian membuahkan vonis 1,5 tahun penjara bagi Meiliana dengan tuduhan penistaan agama.

Setelah pesan tadi disampaikan kepada pihak ketiga, keempat, dan seterusnya, distorsi informasi pun terjadi. Akibatnya, beberapa orang mendatangi rumah Meiliana, hendak membakarnya, dan untunglah masih berhasil dibendung oleh tetangga sekitar. Tapi aksi tersebut tidak berhenti di situ. Orang-orang ini berbelok arah, menuju wihara dan membakarnya.

Padahal sebelum aksi itu terjadi, mediasi tengah diupayakan oleh kedua belah pihak. Di hadapan para pemuka agama, Meiliana dan keluarganya mengucapkan maaf atas tindakannya. Namun, aksi massa sudah terlanjur bergerak masif.

***

Pembakaran tempat ibadah bukanlah hal baru di Indonesia. Sebelum terjadi di Tanjung Balai, Medan, masihkah kita ingat apa yang terjadi di Ambon atau Papua, misalnya?

Dari beberapa kasus tersebut bisa juga kita tarik benang merahnya: bahwa (sebagian) umat merasa terganggu ketenangannya. Ali Amiruddin berpendapat, ketenangan itu tidak berkaitan dengan suara-suara yang kitadengar, tapi hati itulah yang (membuat) kehidupan kita menjadi tenang.

"Dan sayang sekali, di mana sebuah penganut agama merasa paling mayoritas timbul perselisihan dan perpecahan," lanjutnya, dalam tulisan Kepada Anda yang Membenci Suara Azan.

Terjadi silang pengakuan antara Meiliana dengan perwakilan masjid tersebut. Menurut pengakuan Meiliana, ia tak pernah berkeberatan adzan. Sementara pihak lainnya menganggap Meiliana memang keberatan dengan "suara adzan di masjid".

Lewat bahasa, sekali lagi, mengandung asumsi bahwa ada dipalsu di antara keduanya.

Menyikapi hal tersebut, mengutip dari Koran Tempo (23/08/2018), Ketua Pengurus PBNU Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia dan Perundang-Undangan, Robikin Embas menjelaskan apa yang dilakukan Meiliana atas keberatannya pada suara adzan yang terlalu lantang bukan termasuk kategori penistaan agama.

"Penegak hukum tak serta merta menjadikan delik penistaan agama sebagai alat untuk membungkam hak berpendapat," lanjutnya.

Namun, jika kita tarik beberapa tahun yang lalu, misalnya, Mantan Wakil Presiden Boediono pada pertemuan Dewan Masjid Indonesia (DMI) pada 2012 silam pernah mengimbau:

"Kita semua sangat memahami bahwa adzan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban salat mereka. Namun, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu suara adzan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari dibandingsuara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita," ujar Boediono.

Dari sana, barulah muncul wacana untuk mengatur penggunaan pengeras suara yang digunakan untuk adzan.

Dewan Masjid Indonesia, menutut Syahirul Alim, kali ini tidak melihat kepada persoalan pelaksanaan toleransi yang harus dikedepankan umat Islam, tetapi lebih melihat kebutuhan secara umum akan unsur kemanfaatan sebuah pengeras suara yang pada umumnya dipergunakan oleh banyak masjid.

Kita bisa memperhatikan bagaimana Dewan Masjid Indonesia menyikapi pengeras suara yang tidak beraturan juga secara sosial dapat mengganggu ketenangan dan ketentraman, maka perlu dilakukan pengaturan dan pengelolaan.

Menurut Prof. Machasin, Dirjen Bimas Islam Kemenag, bahwa manfaat pengeras suara memang banyak, tetapi harus dapat dipilah: mana yang lebih bermanfaat untuk umat dan mana yang sekadarsaja.

"Namun demikian, banyak  kalangan muslim yang salah kaprah terhadap imbauan DMI ini, di mana sebagiaan umat Muslim menganggap bahwa pengeras suara dilarang dipergunakan untuk masjid atau mushola. Berita yang awalnya dari 'imbauan' untuk menata pengeras suara tiba-tiba berubah menjadi 'larangan' penggunaan pengeras suara," tulis Syahirul Alim dalam artikelnya Salah Kaprah Soal Penertiban Pengeras Suara di Masjid.

***

Komnas HAM membuat laporan atas kejadian yang terjadi antara Meiliana dan pengrusakan Wihara dan Klenteng di TanjungBalai, bahwa ada distorsi informasi tersebut dilakukan sebagai upaya provokasi untuk memancing amarah kelompok tertentu.

Menurut Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM, keberatan yang disampaikan Meliana tidak dimaksudkan untuk menyebar kebencian etnis dan agama.

"Apa yang disampaikan oleh Meliana, merupakan kata-kata yang tidak memiliki tendensi negatif dan tidak didasarkan pada rasa kebencian terhadap agama tertentu," tambahnya.

Munculnya pesan berantai tersebut yang sebermula tentang keluhan adzan berubah menjadi pelarangan suara adzan. Dan ketersinggungan tidaklah bisa diatur dari bahasa yang kadung disebarkan.

Tapi, itulah bahasa, yang semula, mungkin, sebuah kata sifat bahkan bisa menjadi kata kerja yang liar dan tak terkendalikan. Semoga apa yang dialami Meiliana adalah yang terakhir!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun