Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Antara Bahasa dan Kasus Meiliana

24 Agustus 2018   20:56 Diperbarui: 10 April 2019   10:46 4041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembakaran tempat ibadah bukanlah hal baru di Indonesia. Sebelum terjadi di Tanjung Balai, Medan, masihkah kita ingat apa yang terjadi di Ambon atau Papua, misalnya?

Dari beberapa kasus tersebut bisa juga kita tarik benang merahnya: bahwa (sebagian) umat merasa terganggu ketenangannya. Ali Amiruddin berpendapat, ketenangan itu tidak berkaitan dengan suara-suara yang kitadengar, tapi hati itulah yang (membuat) kehidupan kita menjadi tenang.

"Dan sayang sekali, di mana sebuah penganut agama merasa paling mayoritas timbul perselisihan dan perpecahan," lanjutnya, dalam tulisan Kepada Anda yang Membenci Suara Azan.

Terjadi silang pengakuan antara Meiliana dengan perwakilan masjid tersebut. Menurut pengakuan Meiliana, ia tak pernah berkeberatan adzan. Sementara pihak lainnya menganggap Meiliana memang keberatan dengan "suara adzan di masjid".

Lewat bahasa, sekali lagi, mengandung asumsi bahwa ada dipalsu di antara keduanya.

Menyikapi hal tersebut, mengutip dari Koran Tempo (23/08/2018), Ketua Pengurus PBNU Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia dan Perundang-Undangan, Robikin Embas menjelaskan apa yang dilakukan Meiliana atas keberatannya pada suara adzan yang terlalu lantang bukan termasuk kategori penistaan agama.

"Penegak hukum tak serta merta menjadikan delik penistaan agama sebagai alat untuk membungkam hak berpendapat," lanjutnya.

Namun, jika kita tarik beberapa tahun yang lalu, misalnya, Mantan Wakil Presiden Boediono pada pertemuan Dewan Masjid Indonesia (DMI) pada 2012 silam pernah mengimbau:

"Kita semua sangat memahami bahwa adzan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban salat mereka. Namun, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu suara adzan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari dibandingsuara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita," ujar Boediono.

Dari sana, barulah muncul wacana untuk mengatur penggunaan pengeras suara yang digunakan untuk adzan.

Dewan Masjid Indonesia, menutut Syahirul Alim, kali ini tidak melihat kepada persoalan pelaksanaan toleransi yang harus dikedepankan umat Islam, tetapi lebih melihat kebutuhan secara umum akan unsur kemanfaatan sebuah pengeras suara yang pada umumnya dipergunakan oleh banyak masjid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun