Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Mencari Makna Hidup dari Puisi

22 Agustus 2018   11:11 Diperbarui: 4 September 2018   19:21 2620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: ny.curbed.co

Apakah puisi-puisi Chairil Anwar masih relevan saat ini? Usia puisi-puisi yang dibuat oleh Chairil Anwar kurang lebih sama dengan usia bangsa ini. Kira-kira sudah 70-an tahun lamanya.

Tidak (begitu) sulit memang memahami puisi-puisi Chairil Anwar. Sebab bagi Chairil Anwar, menulis puisi sama dengan perjuangan mencari makna dari kehidupan ini.

Mari fokuskan pada frasa "mencari makna dari kehidupan" saja misalnya. Dari sana, sebagai orang yang menuliskan puisi, tentu saja, akan mudah ditarik garis bentuk dan isi puisi Chairil Anwar.

Puisi dangkal, begitu Chairil Anwar menyebut karya penyair yang menuliskan puisi yang mudah sekali terseret godaan-godaan dalam kehidupan yang tak terhitung banyaknya. Ada 5 butir, paling tidak, seperti yang disarikan oleh Hasan Aspani tentang puisi-puisi Chairil Anwar tersebut:

  1. Puisi yang berisi kesan-kesan sepintas, kesan-kesan saat melihat suatu kejadian, yang hanya sampai pada tingkat kesan-kesan pribadi yang tidak menarik pada orang lain.
  2. Sajak yang cengeng, yang hanya berisi rengekan dan tangisan yang tidak wajar.
  3. Puisi yang mencoba kontemplatif, merenungkan persoalan tetapi belum sampai keluar dari persoalan itu, belum dapat mengambil makna dan hakekat dari persoalan tersebut.
  4. Puisi yang tak memancarkan pesona, yang tak mengandung hal-hal yang cukup berarti.
  5. Puisi yang tidak mengandung falsafah hidup di dalamnya, sehingga hanya tampil berupa permainan kata atau frase kosong.

Puisi, sebagaimana karya yang lain, adalah suara zaman. Puisi-puisi Chairil lahir dan bertumbuh pada masa ketika Indonesia sedang panas dalam "perang ideologi". HB. Jassin bahkan sampai mengelompokan itu. Pembabakan yang dibuatnya berdasarkan bagaimana keadaan sosial-politik Indonesia pada masa itu.

Dan, puisi-puisi Chairil Anwar yang berjudul "Aku", misalnya menyuarakan "godaan-godaan kehidupan" tadi.

Kalau sampai waktuku
'ku mau tak seorang 'kan merayu
tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang

***

Lantas bagaimana kita mengakrabi puisi? Apakah seperti Chairil Anwar di mana puisi mesti melulu tentang mencari makna dalam kehidupan?

Namun, seperti segendang sepenarian dengan Chairil Anwar, Rumpies The Club (RTC) membuat lomba menulis puisi bertemakan "kepedulian terhadap sesama".

Dari sana seakan menguatkan apa yang dibilang Chairil Anwar tersebut. Puisi-puisi yang bercerita tentang makna (ke)hidup(an). Sebagai contoh, puisi Wajah Sendu Nan Muram di Tengah Ramai yang ditulis Wahyu Sapta. Cerita tentang pedagang kacang rebus di pasar.

Ada anomali memang. Begini, maksudnya, karena pasar (tempat), kacang rebus (objek) dan malam (waktu) adalah satu kesatuan. Namun, dari ketiga aspek itu ditarik ke segala momen dan peristiwa sehingga membuat "penjual kacang rebus" tadi begitu miris: terusir dari tempat ia (semula) berdagang.

Kepergian pedagang kacang rebus tadi yang kemudian menjadi begitu puitis:

.. lalu dengan langkah gontai ia memunguti dagangan berupa kacang rebus, hanpir memberikan bau tak sedap karena telah lama terebus, sejak tadi malam.

Menjadi terpinggirkan di antara keriuhan bukanlah bayangan yang dapat diindahkan. Apalagi ketika itu dibahasakan: kita jadi tahu hal-ikhwal yang ada kepada kata dan menampilkannya dalam kemuraman.

Manusia dan bahasa, dalam puisi, adalah satu. Seperti kawan yang saling-sapa, menjabat tangan hingga memeluk dengan erat dan hangat. Karena puisi, rasa-rasanya, memang ditulis sendiri, dibacakan sendiri dan diresapinya sendiri. Itu yang, barangkali, membuat puisi begitu intim dengan si empunya.

Sekuntum tumbuh dan mekar indah
bunga merah jambu di teras rumah
harumnya ramah, kuingat, wanginya luluh
pada jauh hari yang begitu teduh.

Begitu isi bait pertama puisi yang ditulis oleh Sugihanto Hadi Pot Bunga Tanah Liat. Kedekatan antara si penulis dengan yang diceritakannya lewat puisi itu dijembatani sisa kenangan pot-pot tanah liat berbunga. Begitu jauh. Jauh hingga ke ujung tanjung jauh pandang.

Namun dari puisi itu jarak adalah keniscayaan yang bisa didekatkan dengan liyan. Di sana, kata puisi itu, pada sisa senyummu mengelopak bunga, di hati.

Puisi yang sebegitu sederhana itu kadang menjadi rumit ketika tampak mengubah seseuatu. Padahal, jauh dari itu semua, jarang sekali puisi mampu melakukan itu --secara dramatis!

Tapi, dari puisi itu, kita diperlihatkan tentang segala perubahan-perubahan, yang bertumbuh dan berkembang. Itulah manusia yang dimetaforkan lewat bunga tadi.

***

Ambiguitas dalam puisi adalah keindahan. Makna yang berganda, yang bisa dilihat dari sudut manapun, menjadikan puisi memiliki nilai-nilai sendiri setiap zamannya. Oleh karenanya, puisi-puisi Chairil Anwar tetap relevan dan semakin berlipat makna dari semula. Bahkan, bisa saja, bisa semakin jauh dari apa yang bisa dibayangannya Chairil Anwar ketika menulis itu.

Namun, ambiguitas sungguh jauh berbeda dengan menyembunyikan makna. Setiap kata dan diksi yang digunakan dalam puisi bisa diartikan pada saat yang bersamaan ketika membacanya. Jika ada satu-dua kata yang tidak dimengerti, bisa langsung membuka kamus. Sederhananya begitu.

Sebenarnya sebada dengan puisi yang ditulis Wahyu Sapta. Ke mana Arah Langkah Kaki? yang dibuat Selsa juga berbicara tentang wilayah hidup yang tergusur: dalam hal ini teritori pejalan kaki.

Penggusuran dan penyempitan ruang gerak ini yang digambarkan oleh Selsa.

Lalu aku bisa apa
saat dapati kenyataan yang tak memihak ini

Membaca puisi yang baik, menurut Mark Yakich dalam 20 strategi membaca puisi, tidak memberi kita sesuatu untuk dibicarakan. Puisi justru membuat kita (penulis maupun pembaca) terdiam. Sebab puisi akan membawa kita pada kesunyian yang lain. Kesunyian yang mungkin jadi tempat yang tepat untuk berpikir dan/atau merenung.

Itulah mungkin kenapa puisi-puisi Chairil Anwar tetap nyaring --menembus ruang dan waktu; zaman-- pada kesunyian pembacanya masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun