Ambiguitas dalam puisi adalah keindahan. Makna yang berganda, yang bisa dilihat dari sudut manapun, menjadikan puisi memiliki nilai-nilai sendiri setiap zamannya. Oleh karenanya, puisi-puisi Chairil Anwar tetap relevan dan semakin berlipat makna dari semula. Bahkan, bisa saja, bisa semakin jauh dari apa yang bisa dibayangannya Chairil Anwar ketika menulis itu.
Namun, ambiguitas sungguh jauh berbeda dengan menyembunyikan makna. Setiap kata dan diksi yang digunakan dalam puisi bisa diartikan pada saat yang bersamaan ketika membacanya. Jika ada satu-dua kata yang tidak dimengerti, bisa langsung membuka kamus. Sederhananya begitu.
Sebenarnya sebada dengan puisi yang ditulis Wahyu Sapta. Ke mana Arah Langkah Kaki? yang dibuat Selsa juga berbicara tentang wilayah hidup yang tergusur: dalam hal ini teritori pejalan kaki.
Penggusuran dan penyempitan ruang gerak ini yang digambarkan oleh Selsa.
Lalu aku bisa apa
saat dapati kenyataan yang tak memihak ini
Membaca puisi yang baik, menurut Mark Yakich dalam 20 strategi membaca puisi, tidak memberi kita sesuatu untuk dibicarakan. Puisi justru membuat kita (penulis maupun pembaca) terdiam. Sebab puisi akan membawa kita pada kesunyian yang lain. Kesunyian yang mungkin jadi tempat yang tepat untuk berpikir dan/atau merenung.
Itulah mungkin kenapa puisi-puisi Chairil Anwar tetap nyaring --menembus ruang dan waktu; zaman-- pada kesunyian pembacanya masing-masing.