Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Mencari Makna Hidup dari Puisi

22 Agustus 2018   11:11 Diperbarui: 4 September 2018   19:21 2620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada anomali memang. Begini, maksudnya, karena pasar (tempat), kacang rebus (objek) dan malam (waktu) adalah satu kesatuan. Namun, dari ketiga aspek itu ditarik ke segala momen dan peristiwa sehingga membuat "penjual kacang rebus" tadi begitu miris: terusir dari tempat ia (semula) berdagang.

Kepergian pedagang kacang rebus tadi yang kemudian menjadi begitu puitis:

.. lalu dengan langkah gontai ia memunguti dagangan berupa kacang rebus, hanpir memberikan bau tak sedap karena telah lama terebus, sejak tadi malam.

Menjadi terpinggirkan di antara keriuhan bukanlah bayangan yang dapat diindahkan. Apalagi ketika itu dibahasakan: kita jadi tahu hal-ikhwal yang ada kepada kata dan menampilkannya dalam kemuraman.

Manusia dan bahasa, dalam puisi, adalah satu. Seperti kawan yang saling-sapa, menjabat tangan hingga memeluk dengan erat dan hangat. Karena puisi, rasa-rasanya, memang ditulis sendiri, dibacakan sendiri dan diresapinya sendiri. Itu yang, barangkali, membuat puisi begitu intim dengan si empunya.

Sekuntum tumbuh dan mekar indah
bunga merah jambu di teras rumah
harumnya ramah, kuingat, wanginya luluh
pada jauh hari yang begitu teduh.

Begitu isi bait pertama puisi yang ditulis oleh Sugihanto Hadi Pot Bunga Tanah Liat. Kedekatan antara si penulis dengan yang diceritakannya lewat puisi itu dijembatani sisa kenangan pot-pot tanah liat berbunga. Begitu jauh. Jauh hingga ke ujung tanjung jauh pandang.

Namun dari puisi itu jarak adalah keniscayaan yang bisa didekatkan dengan liyan. Di sana, kata puisi itu, pada sisa senyummu mengelopak bunga, di hati.

Puisi yang sebegitu sederhana itu kadang menjadi rumit ketika tampak mengubah seseuatu. Padahal, jauh dari itu semua, jarang sekali puisi mampu melakukan itu --secara dramatis!

Tapi, dari puisi itu, kita diperlihatkan tentang segala perubahan-perubahan, yang bertumbuh dan berkembang. Itulah manusia yang dimetaforkan lewat bunga tadi.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun