Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Teroris, Bom Surabaya, dan Tantangannya Buat Negara

18 Mei 2018   04:05 Diperbarui: 18 Mei 2018   04:45 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra

Belum selesai dibuat resah atas kericuhan yang terjadi di rutan Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, Selasa (08/5/2018), masyarakat Indonesia kembali dikejutkan bom bunuh diri di tiga gereja berbeda di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018) pagi. Total, korban dari ledakan di 3 gereja dilaporkan sebanyak 13 orang. Bahkan dua di antaranya adalah anak kecil berusia 11 dan 8.

Belum sampai di situ, peristiwa serupa kembali terjadi malamnya di Sidoarjo dan di Mapoltabes Surabaya keesokan harinya. Sehari berselang giliran Polda Riau yang mendapati aksi teror.

Banyak yang menilai rentetan peristiwa itu adalah reaksi kemarahan teroris setelah kejadian di Mako Brimob. Namun ada juga yang mengatakan, penyebab terorisme di Indonesia didasari oleh kemiskinan (poverty), ketidakadilan (injustice), dan kesenjangan sosial (social inequality).

Tiga persoalan dasar yang menimbulkan ketidakberdayaan dan mendorong kelompok-kelompok yang merasa dirugikan melakukan perlawanan, dan dalam proses perlawanan ini isu elemen 'agama' kerap digunakan sebagai senjata pengobar gerakan perlawanan.

Karin von Hippel pun mengatakan bahwa paham terorisme akan tumbuh subur di masyarakat yang miskin, dan kemiskinan adalah penyebab terorisme sudah tidak berlaku lagi.

Meski teori itu ditentang keras oleh James A Piazza yang menyatakan ada hubungan sebab akibat yang lemah antara kemiskinan dan terorisme.

Argumen kedua, meski tidak begitu populer, sebaliknya berargumen bahwa interpretasi terhadap ajaran-ajaran elemen agama itulah yang mendorong segelintir kelompok melakukan gerakan-gerakan teror." (dalam Visensio Bugis hal: 3).

Mungkin James Piazza bisa jadi benar bila melihat latar belakang dari otak bom Surabaya, Dita Oerpriarto dan keluarganya, yang berasal dari keluarga berkecukupan.

Dalam tayangan ILC, Selasa (15/5), misalnya, tetangga Dita, Binawan Widyarto memberikan keterangan bahwa, tidak ada tanda-tanda umum yang tampak dari ciri-ciri seseorang beraliran radikal atau sebagai teroris.

"Dalam sehari-hari tidak kelihatan seperti orang yang mempunyai nyali seperti itu. Kalau saya lihat si (Dita) baik, pakaiannya juga biasa. Istrinya juga berjilbab biasa. Warna-warni. Pak Dita juga suka memakai jeans, baju biasa. Bukan baju-baju gamis. Wajahnya juga biasa. Polos. Tanpa kumis tanta jenggot," katanya.

Justru, Binawan mengatakan bahwa Dita merupakan keluarga terbilang mampu. Sebab Dita memiliki bisnis minyak yang harga jualnya tak bisa dibilang murah.

"Pekerjaan Pak Dita sehari-hari memproduksi minyak jinten, minyak kemiri, dan minyak wijen di rumahnya. Waktu itu saya lihat yang agak laku minyak kemiri, untuk rambut. Menurut saya juga ia orang berkucupan. Punya mobil, punya rumah. Minyak kemiri sangat mahal, Rp 200 ribu per liter," terang Binawan.

Secara ringkas artinya, ekonomi, penampilan, juga pergaulan sudah bukan menjadi variabel-variabel untuk dijadikan tolak ukur menilai seseorang tersebut menganut ajaran radikal atau bukan.Berbeda dengan rangkaian-rangkaian terorisme medio awal 2000-an dan diawali dengan tragedi Bom Bali. Di mana para "pengantin"biasanya berasal dari golongan ekonomi rendah.

kompas.com/achmad faizal
kompas.com/achmad faizal
Berangkat dari situ juga masyarakat mulai resah dan mendesak untuk mempercepat pengesahan Revisi Undang-Undang Anti Terorisme.

Presiden Joko Widodo pun meminta DPR dan kementerian untuk menyelesaikan selambat-lambatnya pada bulan Juni. Ia mengatakan, revisi UU ini sudah diajukan pemerintah kepada DPR sejak Februari 2016 lalu.

"Artinya sudah dua tahun. Untuk segera diselesaikan secepat-cepatnya dalam masa sidang berikut, yaitu pada 18 Mei yang akan datang," kata Jokowi mengutip Kompas.com (15/05/2018). "Kalau nantinya di bulan Juni di akhir masa sidang ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan Perppu."

Pernyataan Jokowi mengundang reaksi para anggota dewan, antara lain Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang tidak setuju andai  Jokowi menerbutkan Perppu.

"Perppu itu menurut saya tak diperlukan. Karena pembahasan ini sudah mau final, bahkan pada masa lalu pun bisa disahkan. Tapi pemerintah yang menunda. Jangan kebolak-balik," kata Fadli.

Lalu sebenarnya siapa yang menunda, DPR atau pemerintah?

Kompasianer Harja Saputra membeberkan faktanya. Melalui artikelnya, ia menunjukkan dokumen permintaan penundaan rapat dari Pemerintah kepada DPR.

"Alasannya banyak: minta berkoordinasi di antara lembaga-lembaga terkait materi pembahasan, konsolidasi, dan alasan lain. Sila diteliti. Surat ini dijamin keasliannya," tulisnya.

Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Laporan rapat Pansus tentang kendala pembahasan RUU (dokumen)/Harja Saputra
Di surat itu juga tertulis dengan jelas tentang permintaan penundaan rapat. Dan itu bukan sekali dua kali. "Berapa kali pemerintah minta penundaan rapat? Dalam laporan rapat Pansus, dilaporkan bahwa kendala pembahasan adalah sebanyak 15 kali pemerintah meminta penundaan rapat," tulisnya lagi.

Harja mengatakan, tudingan ke DPR oleh pemerintah merupakan salah alamat. Ia bisa mengatakan demikian lantaran, menurutnya, ia rajin rapat RUU Terorisme di sana.

"Saya bisa mengatakan demikian, karena saya rajin hadir di rapat RUU Terorisme ini sebagai pencatat kesimpulan rapat, membantu merumuskan normal pasal, memberi masukan, kadang jadi asisten sorot, dan memberikan kajian kepada pimpinan," ungkapnya.

Sedikit ulasan tadi pada akhirnya memunculkan satu hal, yakni negara dihadapkan dengan tantangan baru dalam menghadapi teroris ke depannya.

Tantangan pertama adalah kemampuan negara mencegah aksi atau tindakan terorisme di Indonesia, mengingat kamuflase mereka kian tak terlihat: mereka bukan lagi datang secara individu, melainkan keluarga. Dan berasal dari golongan berkecukupan. Ditambah penetrasi media sosial yang begitu massif.

Tantangan kedua adalah justru dari dalam negeri sendiri di mana hingga kini justr saling tuding terkait undang-undang.

Di sisi lain, masyarakat menanti peran serta gebrakan para elite untuk membuat masyarakat lepas dari selimut cemas dan saling curiga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun