Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Opini Kompasianer terkait Kericuhan Mako Brimob

14 Mei 2018   11:20 Diperbarui: 14 Mei 2018   11:20 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: KOMPAS.com/KRISTANTO PURNOMO

"Sipir anjing!"

Begitu sekiranya pemicu kericuhan yang melibatkan napi teroris (napiter) dan aparat kepolisian yang terjadi di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, Selasa (08/05/2018) lalu. Kericuhan itu menyebabkan korban tewas sebanyak tujuh orang.

Dari tujuh korban, lima di antaranya adalah anggota yaitu Bripka Denny Setiadi, Ipda Ros Puji, Briptu Fandi Setyo Nugroho, Bripda Syukron Fadhli Idensos, Bripda Wahyu Catur Pamungkas, dan Benny Syamsu Tresno. Sedangkan satu korban lainnya adalah napiter bernama Abu Afif alias Wawan.

Atas kericuhan yang berlangsung selama 36 jam itu meninggalkan luka mendalam sekaligus beragam tanggapan dari masyarakat, termasuk para kompasianer yang memeberikan opininya atas kasus tersebut.

Kompasianer Widodo Judarwanto, misalnya. Ia memberikan opininya atas aksi para napiter yang dianggap sedang melakukan teror. Menurutnya, aksi teror yang dilakukan napiter tidak terbilang tepat. Sebab napiter tidak akan menyerahkan diri dengan negosiasi apapun.

"Bila kerusuhan itu kegiatan teroris pasti pelaku tidak akan menyerahkan diri dengan negosiasi apapun," tulisnya.

Karenanya, ia berkesimpulan, kericuhan itu bukan aksi teror melainkan dilandasi oleh ketidakpuasan para napiter.

"Kerusuhan tersebut karena ketidakpuasan napi dengan alasan daya tampung lapas yang berlebih, fasilitas kehidupan minim, kualitas makanan sangat memprihatinkan dan tidak manusiawi," tulisnya.

"Bagaimana napi tidak bergejolak saat dimasukkan dalam sel yang berhimpitan tidak bisa bergerak leluasa. Belum lagi makanan yang tidak lebih baik dari makanan kucing di kota-kota besar," sambungnya.

Ada juga dari Wisnu AJ yang menilai kalau peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi pihak kepolisian. Alasannya adalah, bagaimana bisa senjata tajam masuk ke dalam sel napiter.

Menurut Wisnu, masuknya senjata tajam bukanlah hal misteri bila melihat dengan mudahnya narkoba dan gawai masuk.

sumber foto: KOMPAS.com/KRISTANTO PURNOMO
sumber foto: KOMPAS.com/KRISTANTO PURNOMO
"Dari dalam lapas saja para narapidana dapat berdagang narkoba, sementara kita tahu bahwa narkoba adalah barang yang terlarang di Indonesia," tulisnya lewat artikel yang berjudul Masuknya Senjata Tajam di Lapas Mako Brimob.

"(Dari dalam lapas) narapidana masih dapat berhubungan dengan dunia luar melalui telephon selular. Pada hal setiap napi dilarang untuk menggunakan telephon selular didalam lapas," sambungnya.

Adanya senjata tajam --bahkan laras panjang-- di dalam sel, bisa terlihat melalui foto yang tersebar di media sosial. Di mana para napiter berswafoto dengan berpose mengacungkan telunjuk kanan sembari tangan kirinya mengangkat senjata laras panjang.

Melalui foto itu juga, Kompasianer Suandri Ansah memberikan analisisnya melalui artikel berjudul Kenapa Teroris Suka "Selfie" di Tengah Aksi Teror?. Menurutnya, aksi swafoto mereka bertujuan untuk memberikan kabar teror melalui jalur media sosial.

"Kelompok teroris biasa memanfaatkan internet untuk melakukan pengkaderan, penanaman ideologi, hingga tips dan trik melakukan sebuah "amalan". Anonimitas media sosial membuat mereka leluasa bergerak seperti tikus yang mengendap-endap di tengah malam untuk mencuri tempe goreng di dapur," begitu tulisnya.

Analis Terorisme TAPSTRI (The Terror Asymmetrics Project on Strategy, Tactics & Radical Ideology), Chris Sampson mengatakan, pelaku teror secara saksama menyusun gambaran keberhasilan di setiap aksi guna memoles citra tempur mereka.

Mereka, tulis Suandri, memamerkan segala bentuk serangannya sebagai pesan kemenangan. ISIS disebut sering akurat dalam mengidentifikasi apakah pelaku teror merupakan anggotanya atau bukan.

Foto: memri.org
Foto: memri.org
Analis Gerakan Terorisme, Michale S Smith II kepada The Independent mengatakan, untuk menunjukkan bukti baiatnya, seorang peropaganda akan meminta anggotanya meninggalkan "jejak" sebelum benar-benar melakukan serangan.

"Jejak" itu kini mereka tinggalkan di media sosial. Mengutip Reuters, ISIS tengah mengembangkan platform media sosial sendiri untuk menghindari tekanan dari perusahaan penyedia media sosial yang ada saat ini.

Dan memang, 2011 lalu, pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi mengimbau untuk berjihad melalui media sosial, yang dinilai powerfull dalam menyampaikan ajaran.

Itu terbukti temuan sebuah operasi keamanan yang dilakukan penegak hukum Uni Eropa. Operasi itu menemukan lebih dari 2.000 bahan ekstremis di 52 platform media sosial. Kejaksaan Agung RI menyebut ada sekitar 49.000 akun twitter yang terafiliasi jaringan terorisme. Twitter menjadi platform favorit peneror guna melancarkan aksinya.

"Mereka menyasar ABG yang mencari jati diri untuk bergabung. Foto dan video tersebut juga digunakan untuk memulai konflik sektarian antara Sunni-Syiah, atau Muslim-nonmuslim. Kebanyakan dari relawan ini berakhir menjadi "pengantin". Perekrut tinggal merekamnya dari jauh. Unggah lalu mencari "pengantin" baru," tandas Suandri.

(Ibs)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun