"Sipir anjing!"
Begitu sekiranya pemicu kericuhan yang melibatkan napi teroris (napiter) dan aparat kepolisian yang terjadi di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat, Selasa (08/05/2018) lalu. Kericuhan itu menyebabkan korban tewas sebanyak tujuh orang.
Dari tujuh korban, lima di antaranya adalah anggota yaitu Bripka Denny Setiadi, Ipda Ros Puji, Briptu Fandi Setyo Nugroho, Bripda Syukron Fadhli Idensos, Bripda Wahyu Catur Pamungkas, dan Benny Syamsu Tresno. Sedangkan satu korban lainnya adalah napiter bernama Abu Afif alias Wawan.
Atas kericuhan yang berlangsung selama 36 jam itu meninggalkan luka mendalam sekaligus beragam tanggapan dari masyarakat, termasuk para kompasianer yang memeberikan opininya atas kasus tersebut.
Kompasianer Widodo Judarwanto, misalnya. Ia memberikan opininya atas aksi para napiter yang dianggap sedang melakukan teror. Menurutnya, aksi teror yang dilakukan napiter tidak terbilang tepat. Sebab napiter tidak akan menyerahkan diri dengan negosiasi apapun.
"Bila kerusuhan itu kegiatan teroris pasti pelaku tidak akan menyerahkan diri dengan negosiasi apapun," tulisnya.
Karenanya, ia berkesimpulan, kericuhan itu bukan aksi teror melainkan dilandasi oleh ketidakpuasan para napiter.
"Kerusuhan tersebut karena ketidakpuasan napi dengan alasan daya tampung lapas yang berlebih, fasilitas kehidupan minim, kualitas makanan sangat memprihatinkan dan tidak manusiawi," tulisnya.
"Bagaimana napi tidak bergejolak saat dimasukkan dalam sel yang berhimpitan tidak bisa bergerak leluasa. Belum lagi makanan yang tidak lebih baik dari makanan kucing di kota-kota besar," sambungnya.
Ada juga dari Wisnu AJ yang menilai kalau peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi pihak kepolisian. Alasannya adalah, bagaimana bisa senjata tajam masuk ke dalam sel napiter.
Menurut Wisnu, masuknya senjata tajam bukanlah hal misteri bila melihat dengan mudahnya narkoba dan gawai masuk.