Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ragam Pendapat Kompasianer Mengenai Tenaga Kerja Asing

3 Mei 2018   16:55 Diperbarui: 4 Mei 2018   23:41 4121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: Kompas.com

Para buruh mendadak panas menjelang peringatan Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei. Mereka terusik lantaran disahkannya Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing di Indonesia.

Perpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo itu bertujuan memudahkan TKA masuk ke Indonesia guna peningkatan investasi dan perbaikan ekonomi nasional.

Dalih itu tak semata meningkatkan kecemasan para buruh. Mereka lebih setuju meningkatkan kualitas tenaga kerja dalam negeri dan memberdayakannya. Masyarkat juga setuju, sebab Perpres itu direncakana akandiuji materi ke Mahkamah Agung (MA), serta mendesak Jokowi untuk membatalkannya.

Isu juga ramai mendapat tanggapan dari Kompasianer dan bukanlah isu baru, setidaknya begitu menurut Kompasianer Aditya Anggara. Ia mencatat beberapa hal tentang banyaknya tenaga kerja asing, khususnya dari China.

Pertama, jelas, invesasi yang dilakukan Negeri Tirai Bambu itu sangat marak di Indonesia, bentuknya beragam dan paling dominan adalah infrastruktur. Kemudian China juga punya "konsep "separuh harga".

Selain itu perusahaan China tersebut datang dengan membawa seluruh personel, mulai dari top manajer hingga tukang masak dan tukang bersih-bersih.

Demikian juga dengan peralatan. Mereka mengusung segala peralatan dari Tiongkok, mulai dari crane canggih hingga linggis, pacul bahkan kemoceng," tulisnya lewat artikel berjudul Polemik TKA (Tenaga Kerja Asing) Tiongkok.

Akan tetapi, mungkin disitulah letak filosofi perusahaan Asia Timur ini (Korea Selatan dan Tiongkok) sehingga mereka bisa mendepak Jepang dari proyek-proyek besar di Asia. Produk Korea dan Tiongkok lebih murah karena mereka bisa memaksimalkan sumber daya yang ada (material, peralatan dan pekerja) untuk dikolaborasikan dengan etos kerja keras khas Asia Timur.

Kompasianer Asmiati Malik mencoba memandang dari sudut pandang ekonomi lewatu artikelnya berjudul Wacana Pembentukan Pansus Tenaga Kerja Asing Tidaklah Penting. Menurutnya, dalam ekonomi harus ada trade-off, yang berarti untuk memperoleh sesuatu harus mengorbankan sesuatu.

"Tiongkok adalah investor nomer 2 dibidang infratruktur setelah Jepang dengan total investasi US$ 5.5 milliar, dengan jumlah investasi sebanyak itu pemerintah harus mengorbankan beberapa celah untuk bisa mendapatkan investasi tersebut. Walau akibatnya jumlah TKA di Indonesia di tahun 2017 sudah mencapai 27.211 orang," tulisnya.

Sesuai judul artikelnya, ia juga mengkritisi terkait rencana dibentuknya panitia khusus tenaga kerja asing (Pansus TKA). Menurutnya, hal itu tidak perlu dilakukan lantaran belum mendesak dan cenderung akan menghamburkan anggaran Pansus itu sendiri.

Di sisi lain, Kompasianer Thomas Jan Bernadus, punya cerita berbeda. Ia menjelaskan, berdasarkan paparan Menaker Perpres 20 Tahun 2018 ini hanya untuk memberikan kemudahan dari sisi prosedur dan proses birokrasi perizinan.

"Kalau izin bisa diberikan dalam waktu satu hari, kenapa harus satu bulan atau satu minggu?" Ujar Menaker, seperti dituliskan Thomas. Menaker juga mengatakan, TKA yang diberikan izin di Indonesia jumlahnya hanya kurang lebih 85.000. Kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia, sangat kecil sekali.

Namun sayangnya, Hanif tidak dapat menerangkan dengan jelas di media nasional. Ia justru memberikan keterangan yang terkesan menyerang balik isu ini.

"TKI kita yang menyerbu orang lain (luar negeri), di Hongkong saja 160 ribu, tenaga kerja China di Indonesia 24 ribu, kalau 160 ribu sama 24 ribu itu, siapa menyerbu siapa?" kata Hanif mengutip Tribunnews.com. Pernyataan Hanif Dhakiri itu dinilai buruk oleh Kompasianer Taslim Budiani.

"Menurut saya apa yang dilakukan oleh Hanif Dhakiri adalah salah satu bentuk komunikasi politik yang buruk," tulisnya lewat artikel berjudul Buruknya Komunikasi Politik Hanif Dhakiri Menyikapi Isu TKA.

Ia pun menyarankan agar Menaker lebih elegan meyakinkan masyarakat bahwa tidak ada satu pun pasal dalam Perpres tersebut yang menganakemaskan TKA.

Meski pada kesempatan sebelumnya Menaker mengeluarkan pernyataan yang lebih kondusif dengan mengatakan bahwa, "Perpres TKA Membuka Lapangan Kerja untuk Masyarakat Indonesia" (Kompas.com 24/04/2018), "Perpres TKA Hanya Permudah Prosedur Izin, Syarat Tidak Dikurangi (Kompas, 23/04/2018)".

Tetapi, tetap saja pesan yang baik tidak akan lebih diingat ketimbang pesan yang mudah menjadi pusat perhatian.

Ragam pendapat lainnya bisa Anda lihat di sini.

(ibs)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun