Butuh waktu lama, paling tidak, untuk Sapardi Djoko Damono ketika menulis sajak "Dongeng Marsinah". Sekira 3 (tiga) tahun lamanya. Sebabnya, ketika menulis sajak itu, Sapardi kerap gagal menjaga 'jarak' antara dirinya dengan puisi yang ingin dibuatnya. Hasilnya, sebuah sajak panjang yang terbagi menjadi 6 babak fragmen.
Marsinah, dalam sajak Sapardi, hidup sebagai orang yang tidak bisa berkuasa apa-apa atas kehendaknya. Marsinah menjadi waktu yang abadi:
"kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi."
Marsinah adalah buruh pabrik. Dalam beberapa larik, bahkan, Sapardi melukiskannya sebagai buruh yang tidak ingin kekerasan yang dapat menyulut kemarahan. Namun, seperti yang kita tahu bagaimana nasib Marsinah:
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Marsinah adalah hakikat presisi tentang Negara memandang buruh. Sesuatu yang bisa kita rasakan hasilnya, tapi kerap gagal menghargai setiap prosesnya. Marsinah dalam puisi Sapardi kemudian menjadi "kita":
dan diingatkannya
agar belajar memahami.
***
Hari buruh yang juga dikenal sebagai May day dimulai perjuangan pada tanggal 4 Mei  1886 di Haymarket Affair di Chicago. Pada saat itu yang buruh perjuangkan adalah jam kerja buruh yang lebih manusiawi, yaitu selama 8 jam dalam sehari --dari semula selama 10-16 jam selama 6 hari dalam seminggunya.
Yang terjadi ketika itu adalah kemuakan kaum pekerja atas dominasi keuasaan kelas borjuis. Mogok massal para kaum pekerja dilakukan sepanjang akhir April. Dan, menjelang 1 Mei 1886, sekitar 350.000 pekerja yang tergabung dalam Federasi Buruh Amerika turun ke jalan. Hampir terjadi di semua tempat di negara bagian di Amerika
Mengutip dari tulisan Asvi Warman menulis pada Kolom Opini Kompas (1 Mei 2004), sebenarnya aksi buruh sudah terjadi sejak 1830-an. Lama waktu kerja 10 jam tidaklah realistis. Para buruh membuat kalkulasi, bahwa dalam satu hari terbagi atas delapan jam kerja, delapan jam rekreasi, dan delapan jam sisanya untuk tidur atau istirahat.
Sayangnya, karena aksi tersebut semakin kuat dan besar, Negara hadir dengan senjata. Polisi diutus Pemerintah menembaki demonstran dengan membabi-buta. Tercatat ada 4 demonstran tewas dan yang-tak-terhitung-jumlahnya buruh yang mengalami luka-luka atas kejadian tersebut.
Aksi tersebut berlangsung sampai 4 hari. Kemudian barulah puncaknya terjadi pada 4 April 1886. Ketika seorang orator turun dari mimbar selepas melakukan orasi, ada bom yang diledakan. Kondisi tidak terkendali. Delapan orang dilaporkan tewas setelah polisi merespon ledakan tersebut dengan senapannya.
"Peristiwa The Haymarket Martyr itu yang dikenang sampai sekarang setelah International Working Men's Association dalam sidangnya di Paris tahun 1889 menetapkan hari itu sebagai Hari Buruh Sedunia.
Ronny Noor mencatat, setidaknya ada 4 hal penting terkait dengan hari buruh internasional:
(1) Buruh diperlakukan secara manusiawi dengan diakuinya hak buruh untuk bekerja selama 8 jam, 8 jam untuk rekreasi dan 8 jam untuk beristirahat.
(2) May day dijadikan hari demonstrasi penting bagi kelompok sosialis dan komunis.
(3) Hari buruh telah dijadikan hari libur penting di negara China, Korea Uatara, Kuba dan negara pecahan eks Uni Soviet yang biasanya dirayakan dengan parade militer dan menanamkan kembali idelogi negara.
(4) Selama era perang dingin, hari buruh dirayakan secara besar besaran di Uni Soviet. Bahkan perayaan Hari buruh dilakukan di pemakaman Lenin.
***
Nasib buruh, menurut Pebrianov, ditentukan beberapa faktor, di antaranya hubungan kerja antar buruh (semngat kerjasama yang positif) di perusahaan dan kinerja personal buruh itu sendiri sebagai faktor internal, kemudian faktor eksternal yakni sistem di luar kelompoknya.
Namun, yang belakang terjadi adalah terjadinya antar-kelas buruh itu sendiri. Buruh sering hanya diidentikkan sebagai pekerja kelas bawah,upah rendah,hidup susah,dan lain sebagainya yang intinya pekerja yang selalu tertindas.
"Seolah mereka yang berdasi,berangkat kerja dengan mobil pribadi,tinggal di apartemen tidak ingin kata buruh disematkan pada mereka karena tidak pantas padahal ia juga bekerja untuk orang lain," menurut Allam AF.
Pembagian kelas terjadi karena ketidaksadaran dan kebanggaan semu yang dimiliki oleh buruh yang merasa dirinya lebih 'tinggi'. Inilah yang dimaksud Allan AF sebgai masalah yang harus dihadapi terkait persatuan buruh yang menjadi tantangan bagi perjuangan buruh.
Fragmentasi kelas buruh berawal dari dimulainya zaman dimana orientasi angkatan kerja pada pencapaian tujuan terutama pada masyarakat kelas menengah untuk hidup sekedar bekerja sebagai karyawan dengan gaji yang cukup untuk menghidupi dirinya dan keluarganya sendiri.
Pola perjuangan buruh yang cenderung menitikberatkan pada bentuk aksi jalanan terutama pasca reformasi setelah selama masa rezim orba berkuasa buruh dibungkam dalam upayanya menyuarakan aspirasi hingga berserikat telah memberikan hasil.
Menurut Allam AF, pengakuan dari unsur masyarakat terhadap eksistensi buruh yang dilihat dari gerakan dan mobilisasi buruh di Indonesia sedikit banyak telah membuat unsur-unsur karyawan dan pegawai yang awalnya apatis terhadap perjuangan buruh kini telah minimal sadar hasil perjuangan kawan-kawannya buruh juga berpengaruh terhadap dirinya.
"Dalam perjuangannya harus dengan cara-cara yang baik tanpa mengurangi kualitas diri sebagai bangsa yang memiliki adab dan tahu cara yang pantas dalam menyampaikan pendapat," lanjutnya.
Tapi, yang juga tidak kalah penting yaitu bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh gerakan buruh tidak melupakan profesionalitas, kewajiban dan tanggung jawab kerja yang dimiliki selama bekerja. Itulah yang membuat perjuangan kelas buruh abadi: perjuangannya!
(HAY)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H