Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tidak Ada Kata Selesai dalam Pendidikan, Kecuali Permasalahannya

25 April 2018   16:44 Diperbarui: 1 Mei 2018   20:15 2745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ujian Nasional Berbasis Komputer tahun ini banyak dikeluhkan para siswa. Sebabnya, soal ujian terlampau sulit. Menteri Pendidikan dan Kebudyaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy pun mengakuinya.

Muhadjir mengatakan kalau soal ujian tahun ini memang dibuat lebih sulit dari tahun sebelumnya. Alasannya, semua soal yang ada di ujian kali standar internasional atau high order thingking (HOTS).

Alasan lain, sebagaimana dilansir Kompas.com (13/04/2018), diterapkannya HOTS untuk mengejar Progamme of International Student Assesment (PISA) Indonesia yang masih tertinggal dibanding negara-negara lain.

Menggunakan standar internasional memang bagus demi meningkatkan siswa. Hanya saja banyak kalangan menilai penggunaannya yang terbilang mendadak, terlebih di ujian nasional, menjadi tidak tepat.

Ragam pendapat pun bermunculan, antara lain Giri Lumakto. Ia menilik beberapa hal yang luput dari penyelenggara ujian nasional tahun ini. Pertama, berkaitan dengan HOTS, yang ia nilai masih "city oriented" alias berorientasi pada siswa di kota-kota besar.

Padahal, seperti diketahui, pendidikan di Indonesia baik itu siswa atau gurunya sendiri belum merata.

"Atau isu teknis lain yang menghambat akses mendapatkan pengayaan materi di luar sekolah. Ketimpangan akses ilmu tidak dijadikan pertimbangan penyusun soal," tulisnya melalui artikel berjudul Yang Luput Menyoal Ujian Nasional yang Memberlakukan HOTS.

Tiba-tibanya HOTS dalam ujian nasional, masih menurut Giri, akan menimbulkan kecemasan sekaligus beban sosial, terutama bagi siswa sendiri dan para orang tua. "Soal HOTS akan menambah social burden yang ditanggung banyak pihak."

Terakhir, dampak paling ekstrem, adanya pergantian Mendikbud. Bak rahasia umum, ganti menteri ganti kurikulum. "Dan semoga berganti model soal UNBK nantinya," demikian tulis Giri.

Kompasianer Hendry Gunawan mengkritisi kebijakan pemerintah satu ini. Ia menilai bahwa pemerintah mengharapkan hasil pendidikan berkualitas yang sama. Sedangkan ketidakmerataan pendidikan masih belum terselesaikan hingga hari ini. Dan pendidikan, menurutnya adalah masalah yang pelik.

"Pemerataan di bidang pendidikan adalah tantangan besar yang dihadapi bangsa ini. Perbedaan fasilitas, SDM sistem dan guru begitu timpang antara Jawa dan Jawa, antara kota dan desa. Padahal pemerintah mengharapkan hasil yang sama. Menurut saya hal yang mustahil dicapai saat ini, karena begitu besar ketimpangan yang terjadi," tulisnya.

Berbeda halnya dengan Kompasianer Faizal Chandra, ia mengatakan HOTS sebenarnya sudah muncul pada tahun lalu. Dan, diakunya, soal itu sangat sulit dikerjakan.

"Soal HOTS di Ujian Nasional rupanya telah ada sejak ujian tahun 2016," tulisnya. "Dan penulis adalah salah satu orang pertama kali mendapat soal dengan penalaran tingkat tinggi dan membuatnya kesulitan menjawab soal.

Ia juga terkaget mendapat soal seperti itu, sebab tidak terdapat dalam kisi-kisi dan sangat berbeda dengan soal try out. Di mana seharusnya soal try out lebih sulit dari soal UN sebenarnya.

"Bahkan di tahun penulis soal try out-nya tidak ada soal HOTS namun di soal UN sebenarnya ada. Dan inilah yang membuat penulis tidak habis pikir dengan pemerintah mengapa hal ini bisa terjadi," tulisnya.

Meski begitu, ia tetap menilai bahwa HOTS cukup penting dan perlu. Hanya ia berharap pemerintah lebih siap dan memberikan kisi-kisi yang jelas agar para siswa tidak kebingungan.

Pendapat lain, Kompasianer Sadri Adam, menilai pemerintah semestinya menimbang dua hal berkaitan: kemampuan siswa dan kompetensi pengajar atau guru.

Intinya, para siswa harus selalu mengasah kemampuannya dalam menganalisis setiap butir soal di bawah bimbingan guru dalam memberikan pemahaman yang tajam, fokus dan terukur. Dan diharapkan mampu melakukan kolaborasi dan transfer knowledge yang baik dengan sesama peserta didik.

Sedangkan sang pengajar, harus melakukan pembiasaan dalam proses pembelajaran HOTS. Selain itu juga Guru harus mampu membuat soal HOTs dengan meminimalisir soal-soal yang menitikberatkan pada kemampuan daya ingat peserta didik, namun lebih kepada bagaimana mengaplikasikannya ke berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari.

Mendikbud Muhadjir memang sudah meminta maaf atas kejadian ini. Melihat permasalahan ini rasanya memang tidak semudah meminta maaf untuk diselesaikan. Butuh proses tidak sederhana.

Namun bukan berarti pemerintah berpangku tangan. Persoalan gonta-ganti kurikulum adalah secuil dari segudang permasalahan pendidikan di Indonesia.

Pemerintah mesti memiliki solusi tepat sasaran dan berjangka panjang. Agar, kejadian serupa tidak terulang lagi dan apabila pemerintah tak ingin dinilai melakukan "malpraktik" pendidikan, seperti kata KPAI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun