Noe Ichwanusshofa menjelaskan bagaimana kelamnya jalan perjuangan. Lewat puisi. Lewat perjuangan Marsinah yang mesti tewas oleh "perselingkuhan kuasa dan uang".
Puisinya juga bukan sekadar kata-kata mutiara untuk mencurahkan perasaan atau pernyataan retorik. Puisi yang oleh Noe Ichwanusshofa diberi judul 'Kasus 1773' amat lugas. Ini beberapa diksi yang Noe Ichwanusshofa gunakan: "Marsinah tergeletak tragis ditemukan", "Marsinah dibunuh!" atau "kekuasaan menghabisi Marsinah".
Kelugasan dalam berpuisi bisa saja tetap puitis. Dan, beginilah cara Noe Ichwanusshofa puitis dalam puisinya. Kegetiran, masalalu, kekejaman, dan ketidakadilan adalah pilihan puitika Noe Ichwanusshofa. Puisinya tetap indah, meski perih.
Yang kemudian menarik adalah (upaya) kebaruan dalam puisi 'Anak-anak yang Terpasung di Kotak Android'. Sri Wintala Achmad menuliskan itu sebagai bentuk keresahannya tentang pergeseran budaya dan zaman hari ini.
Puisi 'Anak-anak yang Terpasung di Kotak Android' menggabungkan antara, mengutip Farah Wardhani pada pembacaan antas puisi-puisi Aan Mansyur, memori masa lalu bercampur dengan yang sekarang, figur-figur modis dengan gawai mutakhir.
Sesuatu yang pelik, yang sebenarnya (dan ini pasti) dirasakan semua orang (kecuali untuk mereka yang tidak tersentuk tersentu teknologi informasi). Penghayatan ini yang dicoba oleh Sri Wintala Achmad kepada pembaca puisinya. Dan, menjadi menarik karena dalam puisi tersebut terkandung bahasa, tafsir, imajinasi dan kebenaran yang terkungkung dalam "satu kotak".
Sebab bahasa menghadirkan rasa, tafsir menyajikan prasangka, imajinasi menawarkan ketakterdugaan, dan kebenawan membawa kemungkinan. Oleh karenanya, mungkin, akhirnya Sri Winatala menutup puisinya seperti ini:
Tak kami saksikan anak-anak
Bermain di halaman, selain
Kapas-kapas terhempas angin
***
Bahasa yang digunakan dalam puisi, kata Goenawan Mohamad, menunjukan cara memandang dunia yang tak beku, kaku dan tertutup. Bahkan puisi juga membebaskan makna bahasa yang terpaksa dibatasi, lanjutnya dalam catatan pendek tentang puisi.
Yang kemudian jadi pertanyaan (atau batangkali menarik untuk didiskusikan?) adalah untuk apa kita masih menulis puisi? Apalagi menempatkan puisi menjadi benar atau salah? Lalu, apa menariknya puisi kalau begitu?