Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Melihat Bagaimana Sebuah Puisi Lahir

11 April 2018   16:35 Diperbarui: 12 April 2018   12:52 3301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (@kulturtava)

***

Jika merujuk data Kompasiana tahun 2017, kanal Fiksiana adalah penyumbang terbesar konten yang diunggah. Alias mendominasi secara jumlah. Dan jika lebih spesifik, adalah puisi.

Setelah melihat bagaimana puisi bisa lahir dan/atau puisi secara keseluruhan, bisa kita bayangkan: betapa panjang jalan yang ditempuh untuk membuat sebuah puisi. Dan itu tidak mudah, tentu saja.

Melalui "pintu" puisi, kita bisa membaca sebuah perjalanan dan/atau perenungan Kompasianer terhadap suatu hal. Namun, tentu tetap dipicu dengan sebuah keresahan. Ia bisa diringkas atau dijabarkan.

Sebagai contoh: Puisi 'Cinta Cattleya tak Mengada-ada' yang ditulis Mim Yudiarto. Ini merupakan perjalanan kisah cinta antara 'si aku' dan 'Kau'. Tentang bagaimana pertemuan yang sulit dikatakan dengan kata-kata. Oleh karenanya, Mim Yudiarto membangun citraan puisi dengan diksi, pada bait pertama misalnya, dengan "tanah subur", "merpati yang tersesat", dan "paguponnya".

Dari ketiga frasa tersebut Mim Yudiarto ingin memberitahu perihal "si Aku" yang --entah-senang-atau-tidak akan pertemuannya dengan "Kau" ini. Karena pada larik lainnya diselingi dengan "Jangan tanyakan" dan "mencurinya dari waktu". Sebuah bentuk pernyataan yang acuh.

Namun, ketika berlajut ke bait kedua dan ketiga, citraan yang dibangun Mim Yudiarto kemudian menjadi seperti monolog. Dialog yang lahir hanya tentang "si Aku" sahaja.

Menyebar bersama udara yang diterbangi. Menunjukkan dengan jelas bagaimana sebenarnya cara mencintai. (Pada bait kedua)

Aku kemas dalam peti yang terbuat dari kayu gaharu. Agar harumnya diawetkan oleh waktu yang tak lagi berahasia kepadaku.(Pada bait ketiga)

Semacam pertemuan yang sakral yang dikisahkan oleh Mim Yudiarto dalam puisinya. Sebab, bagaimanapun, keintiman antara "si Aku" dan "Kau", mengutip dari puisinya: Siap mendengar dan melihat tibanya cinta yang tak lagi mengada-ada.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun