***
Jika merujuk data Kompasiana tahun 2017, kanal Fiksiana adalah penyumbang terbesar konten yang diunggah. Alias mendominasi secara jumlah. Dan jika lebih spesifik, adalah puisi.
Setelah melihat bagaimana puisi bisa lahir dan/atau puisi secara keseluruhan, bisa kita bayangkan: betapa panjang jalan yang ditempuh untuk membuat sebuah puisi. Dan itu tidak mudah, tentu saja.
Melalui "pintu" puisi, kita bisa membaca sebuah perjalanan dan/atau perenungan Kompasianer terhadap suatu hal. Namun, tentu tetap dipicu dengan sebuah keresahan. Ia bisa diringkas atau dijabarkan.
Sebagai contoh: Puisi 'Cinta Cattleya tak Mengada-ada' yang ditulis Mim Yudiarto. Ini merupakan perjalanan kisah cinta antara 'si aku' dan 'Kau'. Tentang bagaimana pertemuan yang sulit dikatakan dengan kata-kata. Oleh karenanya, Mim Yudiarto membangun citraan puisi dengan diksi, pada bait pertama misalnya, dengan "tanah subur", "merpati yang tersesat", dan "paguponnya".
Dari ketiga frasa tersebut Mim Yudiarto ingin memberitahu perihal "si Aku" yang --entah-senang-atau-tidak akan pertemuannya dengan "Kau" ini. Karena pada larik lainnya diselingi dengan "Jangan tanyakan" dan "mencurinya dari waktu". Sebuah bentuk pernyataan yang acuh.
Namun, ketika berlajut ke bait kedua dan ketiga, citraan yang dibangun Mim Yudiarto kemudian menjadi seperti monolog. Dialog yang lahir hanya tentang "si Aku" sahaja.
Menyebar bersama udara yang diterbangi. Menunjukkan dengan jelas bagaimana sebenarnya cara mencintai. (Pada bait kedua)
Aku kemas dalam peti yang terbuat dari kayu gaharu. Agar harumnya diawetkan oleh waktu yang tak lagi berahasia kepadaku.(Pada bait ketiga)
Semacam pertemuan yang sakral yang dikisahkan oleh Mim Yudiarto dalam puisinya. Sebab, bagaimanapun, keintiman antara "si Aku" dan "Kau", mengutip dari puisinya: Siap mendengar dan melihat tibanya cinta yang tak lagi mengada-ada.
***