***
Menurut apa yang dialami dan pahami Edy Supriyatna, kesamaan hak bekerja dan menuntut ilmu, untuk laki-laki dan perempuan, tidak sepenuhnya berlaku.
"Apa yang diungkapkan dan harapkan tidak sesuai praktik di lapangan," tulisnya, dalam esainya Perempuan Politik, Itu Retotika dan Kebijakan Setengah Hati.
Edy Supriyatna juga memaparkan: data proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 261,9 juta penduduk pada 2017, terdapat 130,3 juta jiwa (49,75 persen) dari populasi. Itu tidak tergambar sama sekali pada realita, tukasnya.
Lalu, jika melihat prosentase di kantor Kementerian, setidaknya hanya (atau mungkin) tidak mencapai angka 10 persen. Tidak ada kuota pejabat yang bisa ditempati perempuan. Semua ASN jika ingin menduduki posisi Eselon IV hingga I mesti melalui proses uji kompetensi. Demi rasa keadilan, barangkali.
Jadi, lanjut Edy Supriyatna, dari dulu sampai sekarang, ruang geraknya memang sudah dipersempit, ... hingga jabatan politik sekalipun.
Namun, selama jalan panjang perjuangan perempuan ini, pada Maret 1957 di Surabaya dilaksanakan Konferensi Besar Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) yang menyebutkan: kaum perempuan diperbolehkan menjadi anggota DPR/DPRD. Itu kemudian berlanjut pada hasil Muktamar NU 1961 di Salatiga, kalau perempuab diperkenankan untuk menjadi Kepala Desa.
Upaya, tutup Edy Supriyatna, tentu saja tidak cukup dengan retorika, apalagi dengan setengah hati.
***
Mei, 1940. Apa yang disebut 'kesenangan' oleh Anne Frank bisa dibilang dapat dihitung dengan jari. Penyebabnya: apalagi kalau bukan perang. Akibatnya, tentu saja, pengekangan kebebasan. Dibuat serentetan pasal-pasal hukum untuk mendiskriminasi. Setiap ruang dan gerak, selalu diikuti dengan larangan. Larangan, kala itu, laiknya bayangan.
Pada saat yang bersamaan, Anne Frank ingat apa yang diamanatkan Jacque: "Aku tidak berani melakukan apa-apa, karena takut melanggar peraturan."