Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dongeng dan Langkah-langkah Kecil untuk Menjumpainya Kembali

20 Maret 2018   22:05 Diperbarui: 22 Maret 2018   12:07 1853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Rika Endang Triyani: Mendongeng untuk Menanam Kebaikan. (Harian Kompas)

Kamus Bahasa Indonesia terlalu "datar" rupanya dalam mengartikan dongeng. Dalam Kamus daring (kbbi.kemdikbud.go.id) "dongeng" diartikan sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh). Atau, sebagai kiasan, dongeng diartikan perkataan (berita dan sebagainya) yang bukan-bukan atau tidak benar.

Untuk itulah, barangkali, turunan dari kata "dongeng" tentu tidak jauh dari arti dasarnya. Padahal, dalam praktiknya, dongeng acap kali hadir untuk menyampaikan amanat-amanat (atau, nasihat) secara tersurat --sangat jarang amanat ditulis dan/atau disampaikan secara tersirat.

Pesan amanat itu muncul bisa dari narator atau tokoh karakter cerita. Jika meminjam frasa yang digunakan Umar Fauzi Ballah dalam esainya "Dongeng dan Bahasa AS Laksana", pintu masuk narator menyampaikan amanat terdapat dalam "klausa 'Kau tahu'". Narator, tulisanya, adalah yang hadir membacakan cerita. Ia, narator maksudnya, yang selalu mengatakan atau menyebutkan 'kau tahu'.

Lain lagi jika amanat yang disampaikan oleh tokoh karakter cerita. Pembagiannya pun bisa terlihat karena biasanya hanya ada dua karakter "yang baik" dan "yang sinis". Dan, amanat itu hadir melalui ucapan atau tingkah laku "yang baik". Sedangkan "yang sinis", tentu saja, sebagai penguat/penegas amanat itu.

Itulah kenapa, dongeng bisa jauh mudah diingat ketimbang cerita-cerita lainnya --meski memuat amanat yang sama. Secara bentuk bahasa, dongeng memiliki kekhasan: Mengajak. Oleh karena itu, pendengar dongeng kerap larut dalam cerita.

Dongeng seperti memiliki magis yang bisa membimbing pendengarnya memasuki alam imajinasi. Yang lebih menakjubkan dari dongeng, tentu saja, mengajak pendengarnya kepada pengalaman baru.

Namun, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah: apakah kita termasuk orang yang masih suka menceritakan atau mendengarkan dongeng?

Hal itu juga yang akhirnya menjadi keresahan Sang Nanang ketika perayaan Hari Dongeng Sedunia yang diperingati setiap 20 Maret. Menariknya, pendapat Sang Nanang ditopang dengan beragam perbandingan. Semisal: Orang tua, suami-istri, lebih banyak sibuk bekerja di luar rumah; pergi pagi pulang petang. Kemudian, anak-anak yang sudah sedari kecil diberi gawai.

Bukan mencari siapa yang keliru, namun begitulah fenomena yang terjadi sekarang. Padahal  dalam aktivitas mendongeng orang tua juga mengenalkan banyak kosa kata kepada anak-anaknya. Penguasaan kosa kata yang banyak, kata Sang Nanang, memungkinkan seorang anak dapat bertumbuh kembang lebih baik dari aspek kemampuan verbal dan komunikasinya.

"Potensi ini akan lebih baik lagi jika dapat dikembangkan untuk juga memupuk kemampuan anak mengungkapkan kembali isi cerita secara lisan," tulis Sang Nanang dalam Nasib Mendongeng di Hari Dongeng Sedunia.

Gordon Allport, ahli psikologi asal Amerika, menjelaskan bahwa usia paling efektif untuk menanamkan pembentukkan karakter ada pada usia di bawah sepuluh tahun. Karena pada periode ini dapat memberi dampak yang bertahan lama dan memberi efek berkelanjutan.

Dan, menurut sebuah survei baru-baru ini yang dilakukan pada 500 anak usia 3 sampai 8 tahun di Inggris, dikatakan bahwa 75 persen dari mereka mengingingkan ayah dan ibunya untuk meluangkan waktu khusus membacakan cerita sebelum mereka tidur.

Itulah mengapa mendongeng atau membacakan cerita kepada buah hati adalah sebuah aktivitas yang sangat membahagiakan untuk Okky Fajar. Beruntunglah Indonesia sempat didongengi cerita-cerita dari Pak Raden. Lewat tokoh "Si Unyil" yang menjadi nilai penting bagi kesatuan dan harmonisasi antaretnis beragam di Indonesia.

Atau, seperti Agung Webe, yang masa kecilnya selalu ditemani sang Eyang dengan dongengnya dalam bahasa Jawa. Si Eyang, seingat Webe, suka mendongeng tentang hal-hal yang baginya serba mungkin dan memang ada, entah di dunia sebelah mana yang nanti akan dijelajahinya kala dewasa.

Ingatan itu dekat dan lekat. Cerita-cerita dongeng yang dibawa Si Eyang selalu ia dengarkan setiap sebelum tidur. "Makanya, barangkali, Si Eyang mencoba menitipkan mimpi indah untuk cucu-cucunya," lanjut Webe.

Tidak hanya dari Si Eyang. Webe juga bercerita tentang oleh-oleh yang didapat dari Orang tuanya ketika baru pulang dari luar kota, yaitu kumpulan dongeng HC Andersen.

Cerita dongeng bahkan bisa membuat dunia imajinatif yang kemudian menjadi pijakan arah untuk langkah-langkah berikutnya dalam kehidupan. "Betapa kaya dunia anak-anak dulu lewat dongeng-dongeng indah, legenda, fabel sampai sekadar fiksi belaka, semua merangsang otak untuk mencari dan membuktikan kebenarannya nanti jika dewasa," tulis Webe.

***

"Mau satu, 10, atau 500 anak, perlakuan harus tetap sama. Tujuan mendongeng adalah membuat anak bahagia. Dongeng juga cara mudah untuk anak-anak memahami kebaikan," kata Rika Endang Triyani, pendongeng perempuan yang sudah 20 tahun lebih menjalani usaha tersebut.

Hasrat Rika meriwayatkan kisah-kisah kebajikan didasari keprihatinan lantaran masih sedikitnya pendongeng di Indonesia. Terlebih, semakin jauhnya jarak antara buku dengan anak-anak. Kalaupun ada, buku pelajaran misalnya, itu tidak menarik bagi mereka.

Yang terpenting adalah menemukan hal menarik dari sebuah buku. Dan mendongeng merupakan media alternatif yang dipilih. Lewat mendongeng juga, kata Rika Endang Triyani, menjadi sarana mengajarkan tanpa mesti menggurui.

Mengutip apa yang diajarkan Pak Raden tentang mendongeng, kita mesti tulus. Dari mendongeng, bayaran terbesar adalah senyuman dan binar mata anak-anak yang mendengar. Mari kita berdongeng kembali.

(har)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun